Gibran memasuki rumahnya yang terlihat sepi. Memang sudah jam sepuluh malam dan ia baru pulang. Sudah pasti semua penghuni rumah tengah mendekam di dalam kamar masing-masing termasuk sang istri meski biasanya Della menunggu kepulangannya di sofa ruang tamu setiap malamnya tapi malam ini berbeda.
"Kamu udah pulang?"
Gibran membuang nafas panjang ketika melihat Wilda yang menghampirinya. Sepertinya sepupunya ini belum tidur.
"Minum dulu," kata Wilda meletakkan secangkir teh di atas meja.
Tatapan Gibran bergantian antara Wilda dan teh yang ada di atas meja.
"Buat aku?" tanya Gibran.
"Iya. Kan aku buatnya 2 jadi buat kamu satu dan buat aku satu," jawab Wilda.
Gibran mengangguk dan duduk di sofa. Meraih cangkir teh dan menegaknya. Tidak terasa isi cangkir itu sampai tak tersisa lagi. Senyum misterius terselip di ujung bibir Wilda. Tatapan wanita itu lurus pada Gibran yang sekarang menguap beberapa kali.
"Ayah?" seru Aira dari balkon lantai 2.
Ada 2 kamar di lantai 2 tapi yang satunya kosong karena tidak berpenghuni kadang ditempati Mama Lisa ketika menginap di sini.
Wilda mengeram kesal saat Gibran mengarahkan pandang pada putri pria itu. Padahal tadi Gibran hampir terlelap di sofa.
"Ayah ngantuk ya? Ke kamar dong, Yah. Gimana sih malah duduk di sofa," kata Aira seperti curiga dengan keberadaan Wilda di sana.
Gadis cantik itu memeluk ayahnya yang mengedip berat.
"Ayah kenapa?" tanya Aira saat merasa ada yang aneh dengan ayahnya
Gibran mengerjap beberapa kali lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah mengusir kantuk yang tiba-tiba menghampirinya.
"Nggak tau, Sayang. Tiba-tiba kepala Ayah rasanya berat. Ngantuk," sahut Gibran.
Aira menatap menatap sekilas pada cangkir di atas meja kemudian melirik Wilda yang duduknya tidak nyaman. Senyum wanita itu tampak dibuat seanggun mungkin. Mencurigakan.
"Ayah ke kamar aja ya. Kayaknya Ayah kecapekan jadi ngantuk. Mau Aira antarin ke kamar, nggak?"
Gibran tersenyum dan mengecup puncak kepala putrinya.
"Nggak usah, Sayang. Ayah bisa sendiri, kok. Aira juga ke kamar ya udah malam dan jangan begadang," sahut Gibran diangguki oleh Aira.
Gibran melangkah ke arah kamarnya dan Della. Meninggalkan Wilda dan Aira yang masih menghuni ruang tamu ini. Berdiri di heningnya suasana. Baik Aira maupun Wilda tidak ada yang membuka suara.
"Tante buatin teh buat, Ayah?" tanya Aira hati-hati.
"Iya Ra. Tadinya kata ayah kamu kalau dia mau ngomong sesuatu sama Tante. Makanya Tante buatin teh," jawab Wilda.
Jiwa kepo di dalam diri Aira meronta. Ia tepis perasaan gundah yang menyerang hatinya.
"Kenapa aku merasa aneh ya sama sikap Tante Wilda ke ayah? Nggak mungkin, kan kalau Tante Wilda ada perasaan suka sama ayah? Tante Wilda kan tau kalau ayah udah milik bunda," batin Aira.
"Aira kok belum tidur?" tanya Wilda dibuat dengan nada selembut mungkin.
"Haus, Tan. Ini tadi mau ambil minum ke dapur terus lihat ternyata ada ayah di sini," sahut Aira.
"Kalau gitu Tante juga ke kamar dulu ya. Mau tidur, udah malam."
Aira mengangguk dan memperhatikan Wilda berbalik menghampiri pintu kamar tamu yang sekarang ditempati oleh wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomanceDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.