Part 41

1.8K 113 3
                                    

Della menatap aneh pada kotak bekal yang ada di depan Aira bergantian ia tatap juga gadis itu. Pasalnya isi kotak bekal itu lebih banyak dari yang biasanya. Aira yang sadar akan tarian sang bunda menatap balik bundanya.

"Bunda kok ngeliatinnya gitu banget? Ada yang aneh ya sama Aira?" tanya Aira dengan gerakan tangan yang perlahan terhenti.

"Ya aneh karena bekalnya kok banyak banget. Aira lagi proses naikin berat badan?"

Aira menggeleng pelan dan ikut menatap isi kotak bekalnya. Ia ingin ceritakan semua tentang Dirga pada Della tapi Aira belum menemukan waktu yang pas. Apa yang selama beberapa hari ini dialami Dirga tidak bisa membuat hati Aira tenang terlebih pemuda itu yang seperti kehilangan semua di hidupnya. Hilang materi dan kasih sayang dari Fahri yang selama ini mengaku sebagai ayah dari Dirga tapi sekarang Dirga harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri.

"Kalau udah diem gini pasti lagi mikirin sesuatu nih. Kenapa sih?"

Della mengambil alih kotak itu dari hadapan Aira lantas menutupnya dengan rapat. Wanita hamil itu menatap pergelangan tangannya dan merasa masih ada waktu untuk berbicara dengan Aira, ia tarik tangan Aira untuk duduk di kursi.

"Akhir-akhir ini Bunda perhatikan Aira sering diem. Kenapa Sayang? Lagi ada masalah sama Dirga ya?" tanyanya lembut.

Terlihat beberapa kali Aira menghela nafas kemudian menatap Della.

"Sebenarnya Aira lagi...."

"Maaf Bu, Non Aira... di depan ada Den Dirga katanya mau jemput Non Aira."

Suara Bik Nur sedikit mengejutkan Aira dan Della. Della mengusap bahu Aira dan tersenyum pada gadis cantik itu.

"Ya udah sana udah dijemput sama Dirga. Nanti pulang sekolah Aira cerita sama Bunda ya," kata Della.

"Iya Bun. Aira berangkat kalau gitu. Bunda sama dedek hati-hati ya di rumah."

Gibran masih terlelap di kamar karena hari ini suami dari Della itu tidak masuk kantor jadi setelah sholat subuh ia lanjut tidur.

"Oke Sayang. Hati-hati ya bilang sama Dirga jangan ngebut bawa motornya," pesan Della mengusap rambut indah Aira ketika gadis itu menyalami tangannya.

"Pasti Bunda."

Dalam hati Della yakin jika ada yang Aira sembunyikan. Gelagat aneh putrinya yang beberapa hari kebelakang ini ia perhatikan. Aira yang biasanya lebih suka sholat Maghrib dan Isya di rumah sekarang lebih memilih pergi ke masjid ditambah pulangnya juga lebih lama meski lewat setengah jam dari waktu pulang sholat Isya sang suami tapi bagi Della untuk Aira itu aneh.

Setiap pagi isi kotak bekalnya yang terisi lebih banyak juga jarang ada waktu di dalam rumah setelah pulang sekolah. Della memperhatikan semua itu.

"Aira kenapa ya?" gumamnya pelan.

Della tersentak kaget saat terdengar suara ponselnya yang berdering ada panggilan telepon. Bibirnya tersenyum begitu melihat nama Mama Lisa yang ada di sana. Langsung ia tempelkan benda pipih itu ke telinga kanannya.

"Assalamualaikum, Ma...."

"Wa'alaikumussalam, Sayang. Gimana kabarnya," tanya sang mertua yang sekarang lagi ada di Bali menghadiri pernikahan anak dari sahabatnya.

"Alhamdulillah aku, Mas Gibran, dan Aira sehat semua, Ma. Mama gimana di sana?"

"Mama juga baik-baik aja kok Sayang. Del, Mama mau kasih kalau nanti siang Wilda sama anaknya sampai di Jakarta. Karena Mama lagi di Bali jadi untuk beberapa hari ini nginep di rumah kamu dulu ya," kata Mama Lisa.

Della mengetuk beberapa kali jari telunjuk kirinya pada meja. Ia kaget sekaligus hatinya resah mendengar nama Wilda, sepupu sang suami yang sudah hampir 12 tahun menjanda. Mengapa Gibran di kelilingi dengan orang janda meskipun Wilda adalah sepupu tapi Della tetap gelisah. Bukankah godaan itu berasalnya dari banyak arah? Sepupu juga tidak menutup kemungkinan menjadi suti dalam rumah tangga. Tidak ingin berburuk sangka tapi bukankah mencegah lebih baik?

"Emm... Iya Ma. Nanti aku kasih tau Mas Gibran juga."

____________

"Ternyata setelah sekian lama, Gibran makin terlihat tampan. Kenapa aku kembali deg-degan kalau menatap wajahnya," batin Wilda yang menatap lekat Gibran dari jendela kamarnya.

Namun air mukanya tiba-tiba berubah begitu melihat Della menghampiri Gibran yang tengah duduk sendiri di taman samping rumah mereka.

"Apa aku memang nggak bisa dapatin kamu, Gib. Bahkan setelah Vanya meninggal dunia aja kamu nggak bisa lihat aku sebagai orang yang suka sama kamu selain sebagai sepupu," batinnya lagi.

Tadi kedatangannya dan Marvin disambut baik oleh Gibran dan Della. Ia dan Marvin memang pindah dari Surabaya ke Jakarta karena ingin melanjutkan hidup di tanah kelahirannya.

_________

"Minum dulu ya Mas," kata Della sembari meletakkan teh jahe buatannya di samping sang suami.

Gibran menoleh dan tersenyum lantas menggeser tubuhnya agar sang istri bisa duduk di sebelahnya. Della menyandarkan kepalanya kepada bahu Gibran. Berharap sandaran ternyaman ini bisa mengobati resah di hatinya.

"Sayang, maaf ya kalau mungkin untuk beberapa hari kedepan ini kehadiran Wilda dan Marvin buat nggak nyaman," ujar Gibran seolah mengerti yang tengah diresahkan oleh sang istri.

Della melingkarkan kedua tangannya di perut Gibran.

"Semoga kehadiran mereka nggak mengusik kebahagiaan mereka, ya. Kata mama sih mereka di sini sampai nanti dapat rumah yang pas untuk ditempati. Tapi kalau nanti kamu nggak nyaman, aku bisa cariin kontrakan dulu buat mereka," kata Gibran lagi.

"Iya kita lihat nanti deh, Mas."

Gibran memeluk erat Della yang bersandar nyaman pada dadanya.

"Mas, aku pingin makan sayur sup tapi dibuatin sama Mas Gibran."

Gibran mengecup puncak kepala Della lalu mengangguk semangat.

"Boleh ... apa sih yang enggak buat istriku tercinta. Mau aku buatin sekarang atau nanti?"

Della menyodorkan cangkir berisi teh jahe buatannya yang belum diminum sedikit pun pada sang suami.

"Minum ini dulu nanti kalau udah habis baru kita ke dapur. Aku mau lihat suamiku masak," sahut Della yang diangguki Gibran.

Setelah menghabiskan satu cangkir teh jahe itu, Gibran meletakkan tangannya di pinggang sang istri sembari melangkah ke dalam rumah.

Sampai di dapur ia tarik satu kursi untuk Della agar duduk manis menyaksikan ia masak. Sepertinya ia akan masak banyak sekalian untuk menu makan siang ini terlebih ada tambahan dua jiwa di rumah ini.

"Sayang, kamu duduk aja. Ngapain sih," tanyanya menghampiri Della yang meraih wortel.

"Ini aku mau bantuin, Mas. Biar cepet terus aku mau masakin buat Aira juga," sahut Della.

Gibran menggeleng tegas. Mengarahkan matanya ke kursi yang langsung dituruti sang istri dengan bernafas lesu.

"Ada Bik Nur yang siapin bahan-bahannya. Aku tinggal masak ini. Kamu duduk aja di situ tunggu sampai nanti selesai," kata Gibran.

"Ya tapi aku bosen," balas Della.

"Liatin muka aku yang ganteng ini pasti kamu nggak akan bosen," kata Gibran.







Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang