Di kursi taman mini rumah mewah Gibran dan Della, Aira duduk dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Pada seorang lelaki baik yang selama ini selalu ada ketika Aira merasa sendiri.
"Ada apa sebenarnya sama hubungan kit ini, Ga? Kenapa secara tiba-tiba Om Fahri jauhin kita yang padahal dari dulu dia tau kalau kamu sama aku udah saling dekat," gumamnya lirih.
Sesekali gadis itu menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan. Tidak ia pedulikan air matanya yang jatuh sudah sebanyak apa yang Aira tahu ia hanya ingin menangis.
"Aku udah bilang berapa kali ya kalau kamu itu jauh lebih indah dari bintang-bintang di langit. Kamu indah indahnya dicemburui para bintang."
Lagi-lagi dadanya terasa kian sesak mengingat ucapan demi ucapan Dirga padanya. Saat Dirga masih di sampingnya. Ia rindu Dirga, Ia ingin bersama Dirga.
Ting.
Suara notifikasi dari ponselnya berhasil mengejutkan Aira. Gadis itu sempat terlonjak sebelum meraih ponselnya dan tersenyum haru melihat nama siapa yang mengiriminya pesan singkat.
Dirga.
Ai, aku lagi di depan rumah kamu. Kamu mau temuin aku?
Membaca satu kalimat itu saja mampu membuat hati Aira campur aduk.
Dengan cepat Aira mengusap pipinya yang basah dan langsung beranjak dari duduknya. Berlari kecil masuk ke dalam rumah untuk menghampiri Dirga ke halaman depan rumah. Bahkan ponselnya ia letakkan begitu saja di kursi taman belakang rumah.
"Dirga...." panggilnya begitu Aira tiba di teras rumah.
Dirga berbalik badan dan tersenyum melihat Aira yang berlari tergesa ke arahnya. Tubuhnya bahkan bagai membeku saat langsung dipeluk erat oleh gadis itu. Dua detik Aira dalam pelukan terdengar isak tangisnya. Kedua tangannya mengusap bahu Aira dan dagunya diletakkan di puncak kepala Aira yang rambutnya tergerai indah itu.
Tidak ada kata yang terlontar dari bibir keduanya seolah masing-masing tengah menikmati pelukan hangat ini. Terlebih keduanya sama-sama memejamkan mata. Akhirnya Dirga datang dan bisa menjadi obat bagi kepiluan yang Aira rasakan. Pilu karena pria itu. Entah bagaimana nasib hubungan mereka ke depannya. Keduanya berharap selalu bersama.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Aira masih dalam pelukan Dirga.
Kepalanya bersandar nyaman di dada bidang pemuda itu sedangkan kedua tangannya melingkari pinggang Dirga.
"Kangen," jawab Dirga spontan yang nyaris hanya berupa bisikan.
Bibir Aira tertarik membentuk senyuman. Menangis sambil tersenyum di pelukan orang yang disayang rasanya campur aduk. Sedih berbalut hangat.
"Pasti papa kamu nggak tau ya kalau kamu ke sini?"
Dirga mengangkat dagunya dari kepala Aira dan menunduk agar bisa menatap wajah gadis jelita ini. Mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
"Iya. Aku ke sini diem-diem. Maaf ya Ai, aku juga nggak tau kenapa papa jadi kayak gini."
Aira mengangguk dan menatap tangannya yang digenggam Dirga erat.
"Bukan salah kamu. Aku dan kamu nggak tau ada apa sebenarnya tapi yang pasti aku sedih kalau nggak ada kamu," ujar Aira kembali menyayat hati Dirga.
Tahukah gadis ini jika Dirga pun merasakan hal yang sama. Ingin selalu mendekap dan selalu ada di dekat Aira kapan pun itu.
"Kamu harus tau, Ai. Kalau aku sayang banget sama kamu. Nggak ada yang bisa buat hati aku segundah ini kalau nggak ketemu. Senyum kamu, mata kamu, dan semua tentang kamu adalah hal terindah dalam hidup aku," kata Dirga menatap dalam Aira yang juga membalas tatapannya.
"Aku juga. Aku juga sayang banget sama kamu, Ga. Cuma kamu yang selalu mengerti aku. Aku pasti hancur banget kalau nggak sama kamu," sahut Aira kembali menitikkan air mata.
"Kalau nanti aku nggak bisa nemenin kamu nangis, tolong jangan benci aku Ai."
Dahi Aira mengernyit mendengar ungkapan terakhir Dirga. Ia usap air matanya dan menatap serius pada pemuda itu penuh tanya.
"Maksud kamu? Kamu mau jauhin aku?"
Suara Aira terdengar kembali bergetar. Dirga tidak menjawab melainkan menghela panjang dengan gusar dan mengangkat Aira kemudian ia kecup tepat di kumpulan jemari gadis itu.
"Semua ini bukan keinginan aku, Ai. Maafin aku. Aku nggak bisa terus ada untuk kamu," kata Dirga.
Aira menggeleng pelan dengan air mata yang semakin mengalir deras. Gadis itu mengeratkan genggaman tangannya pada Dirga.
"Ga ... ini serius? Kamu becanda, kan? Katanya kamu sayang sama aku tapi kenapa....,"
Telapak tangan Dirga mengusap pipi kiri Aira. Hatinya ingin bersama Aira tapi keadaan yang tidak memihak pada mereka terlebih setelah tadi bersitegang dengan sang papa mengenai kedekatannya dengan Aira. Dirga tidak ingin menyakiti banyak hati jika ia terus-menerus dekat dengan Aira.
"Hati aku ini milik kamu, Ai. Nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di sana. Tapi aku minta maaf kalau aku nggak bisa ada di samping kamu. Sekarang aku bahagia karena bisa lihat kamu udah bahagia bisa kumpul sama ayah kamu. Aku yakin ayah kamu yang akan selalu jagain kamu."
"Selain ayah, kamu juga berarti untuk aku, Ga."
Dirga tersenyum. Ia senang mendengarnya yang itu berarti rasa sayangnya pada Aira terbalas. Ia merapikan anak rambut Aira yang mengenai pipi. Menatap dalam wajah Aira dan meyakinkan hati untuk ia harus bisa mengungkapkan kata yang menjadi tujuannya datang ke sini.
"Kita kembali seperti semula, ya. Seperti kamu yang belum kenal aku dan sebaliknya. Hubungan kita ini terlalu rumit, Ai."
Deg.
Dirga menyerah untuk hubungan mereka yang tidak tahu apa jenisnya? Dirga ingin meninggalkan Aira begitu saja setelah pria itu berhasil membuat Aira jatuh hati padanya?
Dunia Aira terasa kosong saat Dirga melepaskan tangannya dan pria itu berbalik kemudian melangkah pergi. Tubuh Aira bergetar menyaksikan punggung pria tampan itu semakin menjauh darinya. Air matanya tidak bisa dibendung lagi bahkan tubuhnya pun ikut lemas. Kaki Aira tidak mampu menahan tubuhnya dan gadis itu terduduk bersimpuh di rerumputan.
Di teras rumah sepasang suami istri menatap sendu ke arah dua remaja itu. Gibran menghela nafas berkali-kali dengan Della yang mengusap pelan lengan tangannya. Melihat putrinya menangis pilu seperti itu la Gibran ikut menangis. Ia dan Della mendengar semua yang diperbincangkan oleh Dirga dan Aira.
"Kita samperin Aira ya, Mas."
Gibran berjalan duluan kemudian membungkukkan badan. Meraih kedua bahu Aira yang tersedu. Setelah tahu siapa yang mengangkat tubuhnya, Aira jatuh ke pelukan Gibran dengan tangis pilu.
Gibran tahu alasan Dirga seperti itu. Tidak bisa disalahkan. Dirga pasti tidak ingin menyakiti hati papanya.
"Masa lalu Ayah yang membuat air mata kamu harus mengalir deras seperti ini, Sayang. Maafkan Ayah," ungkap batin Gibran.
"Nangis aja kalau memang dengan menangis Aira bisa jadi lebih tenang," kata Gibran.
Della mengusap rambut Aira yang terisak di pelukan ayahnya. Ikut meneteskan air mata melihat gadis ini menangis.
Next part Della-Gibran dibanyakin ya. Kita fokus di couple bocil dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomanceDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.