Part 31

3.2K 137 4
                                    

Ujian rumah tangga tidak akan ada habisnya semasih dua jiwa itu menyatu dalam ikatan pernikahan. Ada yang berusaha dan mampu bertahan dengan balutan kepercayaan dan kesetiaan dan ada juga yang memilih mengakhiri pernikahan karena kata lelah.

Baru menikah beberapa bulan dengan Gibran ternyata banyak hal yang baru Della tahu mengenai sang suami. Ia bisa mengerti pada suaminya yang mungkin masih mencintai masa lalunya, bisa memahami jika sekarang ini perhatian Gibran lebih banyak disedot oleh Aira yang merupakan putri kesayangan pria itu dan apa Della juga harus mengerti dengan terbaginya waktu Gibran pada Dina, mantan istri dari Almarhum sahabat Gibran.

"Sebenarnya apa yang udah kamu lakukan di belakang aku, Mas?" gumam Della.

Tadi Gibran pamit pergi bersama Firman, sekretarisnya untuk menjenguk salah satu karyawan kantornya yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit. Ponsel Gibran tertinggal di kamar mereka.

Awalnya Della tidak ingin menggeser layar benda pipih itu tapi perasaan penasaran terus menghantuinya saat beberapa kali melihat dentingan notifikasi muncul. Terlebih ponsel Gibran tidak diberi password, jadi ibu jari Della semakin mudah untuk membuka isi pesan yang tertera di sana.

Dina.

Makasih ya, Mas. Rumahnya bagus. Aku dan Aline suka banget.

Rumah? Rumah apa maksudnya. Apa Gibran membelikan rumah untuk Dina?

Aline udah mulai sekolah kemarin. Kata gurunya, Aline banyak cerita tentang kamu.

Nggak apa-apa kan kalau Aline ceritakan kamu sebagai Om Malaikat baik ke guru dan teman-temannya? Kamu itu salah satu penyemangat bagi Aline, Mas.

Seketika darahnya mendidih. Dadanya Della naik turun membaca pesan dari Dina di ponsel sang suami. Meski tidak ada chat balasan dari Gibran tapi Della yakin jika Gibran dan Dina pasti sering bertemu di luar sana. Membicarakan hal apa saja yang mungkin membuat mereka bahagia.

Bohong jika Della tidak merasa cemburu terlebih panggilan yang digunakan Dina untuk Gibran. Suami Della. Haruskah Della kembali menaruh rasa curiga pada Gibran yang katanya setia. Oke, jika dilihat dari segi fisik Dina adalah sosok yang nyaris sempurna. Cantik, putih, dan punya tubuh yang proporsional. Mata pria akan tak berkedip jika disuguhi pemandangan secantik Dina tapi bukankah hanya pria yang murahan yang tergiur dengan wanita selain istrinya?

"Aku lagi hamil anak kamu tapi kamu malah belikan rumah untuk perempuan lain, Mas." Della berujar lirih.

Sudah, hatinya sudah lebih dari kata sakit. Della mematikan ponsel Gibran dan meletakkan kembali ke atas meja. Wanita hamil itu mengusap pipinya yang basah tanpa ia sadari. Sekuat-kuatnya seorang Della, ia tetap punya banyak stok air mata yang siap tumpah kapan pun itu.

"Aku harus apa, ya?" gumamnya sembari memejamkan mata dengan tangan mengelus perutnya yang sudah sedikit menonjol.

Della meraih ponselnya yang berdering, ada panggilan dari Elsa. Sahabatnya yang dari dulu selalu bersamanya.

"Assalamualaikum, Sa. Ada apa?"

Dahinya mengernyit saat mendengar isakan Elsa di seberang sana. Sahabatnya itu sedang menangis dan seketika membuat Della khawatir.

"Dell... Ibu aku masuk rumah sakit. Tadi jatuh di kamar mandi."

Apa pun tentang kabar Bu Naima pasti akan Elsa beritahu pada Della karena Della dekat ibunda dari sahabatnya itu. Ia sudah tidak punya ibu, jadi ada orang baik seperti Bu Naima pasti dianggap Della seperti ibunya sendiri.

"Kamu kirim alamat rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang," kata Della.

"Iya Del. Aku tunggu kamu ya tapi suami kamu gimana?"

Della terdiam sejenak sekedar untuk menghela nafas panjang. Bagaimana ia minta izin pada Gibran sedang ponsel sang suami ada di sini.

"Nanti aku yang bilang ke Mas Gibran. Aku yakin dia pasti ngerti, kok. Kamu tenang ya, aku siap-siap ke sana," ujar Della.

Della memang sering keluar rumah bersama Elsa atau teman-temannya yang lain tapi itu sudah diizinkan oleh Gibran selama Della rutin mengabarinya. Dengan keadaan hati yang sekarang tidak baik-baik saja sepertinya Della butuh pengalihan untuk hatinya.

Tidak sampai 15 menit wanita itu sudah siap dengan dress dibawah lutut, lengan panjang berwarna abu muda yang dibelikan Aira untuknya. Sampai sekarang Della belum bisa menyetir mobil jadi sudah pasti ia pergi bersama supir.

"Semoga Bu Naima baik-baik aja," gumam Della setelah mobil melaju dari halaman rumahnya.

___________

"Maafin aku ya Gib. Lagi-lagi aku harus merepotkan kamu. Padahal aku tau kalau kamu pasti sibuk," kata Dina.

Di luar ruang rawat putrinya, Della dan Gibran sedang bercengkrama. Tadi saat Gibran dan Firman pulang dari rumah sakit setelah menjenguk salah satu  karyawan kantornya, di jalan Gibran bertemu Aline yang tengah dikerumuni banyak orang, kata mereka tabrak lari. Gibran membawa Aline ke rumah sakit terdahulu sebelum meminta Firman untuk menghubungi Dina karena baru sadar jika ponselnya tertinggal di rumah.

"Aku cuma melakukan apa yang juga orang lain lakukan kalau lihat orang kecelakaan, Din. Kebetulan tadi aku sama Firman yang lewat di sana jadi aku bawa ke sini."

Dina mengusap air matanya dan mengulas senyum tipis. Wanita itu mendekwtkan posisinya pada Gibran.

"Makasih ya," ujar Dina lagi.

Entah sengaja atau tidak, Dina menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Gibran yang terdiam mematung di posisinya. Pinggang Gibran wanita itu lingkari dengan kedua tangannya.

Dua pasang mata yang sejak tadi menatap ke arah Gibran dan Dina dari jarak yang lumayan dekat menghentikan langkah kaki mereka secara bersamaan. Dada Della benar-benar sesak melihat semua ini. Kebohongan apa lagi yang suaminya berikan untuknya.

"Dell," gumam Elsa melirik sahabatnya yang kini memejamkan mata.

Elsa memang menjemput Della ke halaman rumah sakit karena memang ibunya pun sedang ditangani oleh dokter dan perawat.

"Kita cari jalan lain ya, Sa."

Tanpa banyak tanya Elsa mengangguk dan menarik tangan sahabatnya untuk mencari arah lain agar mereka tidak bertemu Gibran yang parahnya tengah berpelukan dengan perempuan lain di tempat umum seperti ini.

Jangan tanyakan bagaimana kondisi hati Della saat ini. Hatinya hancur sehancur-hancurnya sampai rasanya Della kesulitan menelan air yang ada di tenggorokannya. Langkahnya lunglai seolah tenaganya habis karena pemandangan mengundang air mata tadi. Matanya panas Della tidak menahan agar bulir bening itu tidak jatuh.

"Harusnya tadi aku nggak kasih tau kamu soal ibu, Del. Jadi kamu nggak lihat yang tadi. Maafin aku ya," kata Elsa yang merasa bersalah.

Gadis itu mengusap punggung Della yang menangis dalam pelukannya.

"Justru harusnya aku bilang makasih sama kamu karena dengan kamu kabarin aku kalau ibu masuk rumah sakit, aku jadi tau gimana suamiku."

"Tapi nanti kamu minta penjelasan ya sama dia. Siapa tau kita cuma salah paham aja, Del. Nggak semua yang kita lihat itu kebenarannya," kata Elsa







Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang