Part 29

3K 100 2
                                    

Aira bersandar pada jok mobil sembari mengusap lembut permukaan jaket milik Dirga yang baru ia lepas dari tubuhnya setelah masuk ke dalam mobil tadi. Jiwa gadis itu masih bersama Dirga. Pikirannya masihlah tentang Dirga dan hatinya pun sama. Ia menangis pun tidak mengubah apa-apa. Dari ucapannya tadi sepertinya Dirga akan tetap melanjutkan "misi" untuk menjauhinya.

Akh, mengapa Aira selemah ini hanya karena seorang Dirga? Bukankah ia gadis yang kuat, Aira mampu menunjukkan pada dunia jika ia baik-baik saja meski saat itu ayah dan ibunya tidak berada di sampingnya.

Bukankah kedua orangtua adalah dasar kekuatan mental seorang anak? Aira mampu menjalani hari dengan tanpa elusan tangan ayah dan ibunya lantas mengapa ia harus rapuh hanya karena seorang Dirga. Toh sama saja saat ia bersama Dirga, Aira jauh dari ayahnya dan kini ayahnya sudah dalam pelukan bahkan cinta yang menghampiri Aira termasuk sang oma, tapi di saat seperti ini ia harus menerima kenyataan diminta berjauhan dari orang yang juga berarti bagi hidupnya.

"Kalau Dirga bisa itu artinya kamu juga harus bisa, Aira. Semua cuma tentang waktu untuk melupakan dia," ungkap hati Aira.

Tes.

Satu tetes air matanya jatuh tepat di atas permukaan jaket Dirga dan itu tidak luput dari perhatian Della. Aira tidak menyadari jika sejak tadi Della memperhatikannya.

Perlahan Della menarik bahu Aira hingga gadis itu bersandar pada tubuhnya. Mengusap lengan tangan gadis itu lembut.

"Aira kuat kok. Nangis bukan pertanda lemah. Kalau mau nangis, Aira nangis aja," bisik Della di telinga Aira.

Dikompori seperti itu membuat air mata Aira benar-benar jatuh bercucuran seolah berlomba untuk membasahi pipinya. Oma Lisa yang duduk di samping Pak Agus menoleh ke belakang dengan dahi mengernyit kemudian setelah memastikan benar jika Aira tengah menangis, wanita paruh baya itu menghela nafas panjang.

"Cucu Oma nangis pasti karena laki-laki tadi, ya? Awas aja nanti kalau Oma ketemu dia. Nggak akan Oma kasih ampun," serobotnya terlihat kesal.

"Namanya juga anak remaja, Ma. Biasa kan itu mungkin salah paham aja," kata Della yang terus mengusap rambut Aira.

"Ya maksudnya kalau salah paham dibenerin dong. Bukan malah buat anak orang nangis kayak gini. Mentang-mentang ganteng terus dia pikir bisa gitu nyakitin hati anak orang semaunya dia?"

"Ya udah Aira nggak usah nangisin dia lagi. Nanti Oma kenalin Aira sama cucunya temen Oma ya. Orangnya ganteng dan baik banget pokoknya. Lupain aja tu si Dirga," lanjutnya.

Aira memang banyak berteman dengan laki-laki seusianya tapi tetap saja hanya sebatas teman biasa saja. Yang paling dekatnya ya Dirga dan Naya sebagai sabahat. Aira hanya ingin hatinya kuat agar jika esok bertemu Dirga maka ia tidak larut oleh tatapan ketulusan pria itu. Cinta saja tidak cukup jika keadaan tidak merestui.

"Aira mau makan siang di mana? Khusus hari ini Bunda sama Oma mau temenin Aira ke mana pun Aira mau," kata Della yang diangguki Lisa.

Aira mengangkat kepalanya dan melepaskan dirinya dari pelukan sang bunda. Mengusap pipinya dengan jaket Dirga.

"Tapi kan hujan, Bun."

"Gimana kalau kita ke rumah Oma aja. Bik Yanti udah masak katanya. Kan Aira belum pernah ke rumahnya Oma," usul Lisa masih dengan kepala tertoleh ke belakang.

"Aira mau Oma. Makasih ya Oma udah ajakin Aira," kata Aira.

Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan demi bisa memeluk sang Oma dan mendapat usapan lembut di bahu kanannya dari Oma Lisa.

"Sama-sama Sayang. Nanti kita ke butik Oma dulu ya. Ambil baju buat Aira ganti. Masa sampai sore pakenya seragam sekolah."

Aira mengangguk senang.

"Oma minta maaf ya untuk semua kejahatan yang udah perbuat ke Aira."

"Oma nggak jahat, kok. Buktinya sekarang Oma mau peluk Aira," ujar Aira membuat sang Oma melabuhkan satu kecupan di pipi gadis itu.

Dalam hati Lisa menyuarakan sesal karena baru tahu jika ternyata setulus ini hati seorang gadis cantik jelita yang merupakan cucunya. Hati Aira setara cantiknya dengan hati yang remaja ini miliki. Pantas saja banyak yang menyayanginya.

"Semoga nanti setelah anakku lahir, Mama juga bisa sayang sama dia. Aku yakin Mama orang baik hanya saja beliau terlalu gengsi menunjukkan sayangnya pada Aira."

____________

"Seneng banget ya? Senyum-senyum dari tadi."

Della mengangguk menyentuh punggung tangan Gibran yang bertumpu di atas perut ratanya. Pria itu memeluknya dari belakang. Karena hujan yang berkelanjutan membuat Della terpaksa merayu Gibran agar mau menginap di rumah Mama Lisa untuk malam ini.

Padahal hari sudah tidak hujan tapi Della tetap ingin menginap di sini. Lagi pula Aira dan Mama Lisa sepertinya sedang menikmati waktu berdua sebagai Oma dan cucu. Benar, rumah ini sangat sepi setelah kepergian Gibran dan Della ke rumah baru mereka.

"Akh... Mas ih... Jahat banget sih," pekik Della saat sang suami menarik pelan tubuhnya kemudian pria itu duduk di atas tempat tidur yang otomatis tubuh Della jatuh di atas pangkuan Gibran.

"Maaf Sayang. Namanya juga refleks. Kalau nggak kayak gini kamu mana mau duduk di pangkuan aku," kata Gibran.

"Makasih ya Sayang karena kamu udah bisa luluhin hati Mama untuk menerima kehadiran Aira," ungkap Gibran.

Della tersenyum dan mengusap sebelah pipi hingga rahang tegas suaminya. Tatapan mereka bertemu dan seolah tak ingin beralih walau sedikit pun.

"Sama-sama, Mas. Aku seneng kalau lihat banyak yang sayang sama Aira."

Selanjutnya Della mengalungkan tangannya di kedua pundak Gibran.

"Emmmmmm," erang Della pelan saat merasa geli lantaran kepada sang suami diletakkan di antara leher dan bahunya.  Baju tidur satin bertali kecil di bahu Della membuat bagian atas tubuh wanita itu terekspos begitu saja.

Dengan senang hatinya Gibran menghirup wangi tubuh sang istri sembari mengecup bagian leher hingga dada atas Della. Tangan Gibran memeluk erat pinggang Della agar tidak terjatuh dari pangkuannya.

Entah sejak kapan tubuh Della berubah posisi menjadi terbaring di atas kasur dengan Gibran di atasnya. Satu tali di pundak Della merosot ke bagian lengan yang membuat Della yakin jika sebentar lagi tubuhnya pasti terbebas dari gaun ini.

"Malam ini boleh ya," bisik Gibran yang lebih menyerupai rengekan bak anak kecil yang meminta dibelikan mainan oleh orangtuanya di telinga Della.

"Hem," dehem Della sebagai jawaban.

Gibran menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan sang istri.
Suara erangan tidak bisa ditahan Della selama sang suami memberikan cumbuan cinta padanya. Keduanya larut dalam kehangatan kasih yang membahagiakan.







Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang