Part 19

3.8K 144 2
                                    

"Cantik banget istriku," puji Gibran melihat Della yang sudah berpakaian rapi dan berndandan saat ia masuk ke dalam kamar.

Istrinya memakai tunik berwarna dusty pink dengan rambut dikuncir. Dandanan natural membuat istrinya tampak indah. Hari ini mereka berdua berniat mengantarkan Aira ke sekolah.

Sudah hampir satu minggu Aira tinggal bersama mereka terlebih sekarang Firly dan Tama sedang berada di luar negeri karena ada urusan pekerjaan. Mereka pergi dengan perasaan yang bahagia karena Aira ditinggalkan bersama orangtuanya sendiri, yakni Gibran.

"Suamiku juga ganteng banget," kata Della mengusap pipi suaminya.

"Iya dong. Suami kamu ini kapan sih enggak gantengnya?" gurau Gibran dengan kekehan kecil.

"Iya juga ya. Mas Gibran tidur aja cakep," sahut Della menoel-noel pipi sang suami.

"Nanti habis ngantarin Aira ke sekolah, aku ikut Mas ke kantor ya. Siangnya kita makan bareng di kafe aja sama Aira," ujar Della.

Gibran meletakkan dua tangannya melingkari pinggang Della. Melabuhkan kecupan penuh cinta tepat di kening sang istri. Menatap Della hatinya damai, rasanya Gibran ingin terus berada di samping Della.

"Boleh Sayang. Aira udah pasti nggak nolak kalau diajakin sama kita."

"Sayang," panggil Gibran dengan sebelah tangan merapikan anak rambut Della.

"Hem?"

"Aku boleh minta sesuatu nggak sama kamu?" tanya Gibran.

"Boleh. Mas mau minta apa? Pasti aku kasih kok kalau bisa," kata Della.

Jantung wanita itu berdetak tidak karuan saat ibu jari suaminya mengusap bibir bawahnya. Dari tatapan sang suami, ia langsung tahu apa yang Gibran pinta. Merasa suaminya semakin mendekatkan wajah mereka, Della memejamkan mata dan mengalungkan kedua tangannya di leher Gibran.

Perlahan bibirnya merasakan dikecup lembut oleh Gibran sebelum dilumat oleh pria itu, sedangkan Gibran menekan pelan tengkuk Della agar tautan bibir mereka tidak terlepas.

"Emmm... udah ih... aku nggak bisa nafas, Mas."

Della mendorong pelan dada Gibran sampai pria itu melepaskan bibirnya. Nafas wanita itu tersenggal-senggal sedangkan Gibran malah terkekeh pelan.

"Makasih Sayang," kata Gibran mengusap lagi bibir istrinya.

"Sama-sama, Mas."

____________

Gibran dan Della ikut turun dari mobil mereka saat sudah sampai di depan sekolah Aira. Salah satu sekolah elit yang ada di Ibu Kota ini menjadi tempat putrinya menimba ilmu. Ini pertama kalinya Gibran datang ke sini.

"Kenapa Aira senyum-senyum gitu? Lagi seneng banget kayaknya ya?" tanya Della yang sekarang tengah mengusap puncak kepala Aira.

Aira menatap Gibra dan Della dengan senyum bahagia tersemat di bibirnya.

"Aira seneng banget, Bun. Akhirnya Aira bisa merasakan diantar orangtua ke sekolah. Aira nggak perlu iri lagi sama temen-temen yang lain," kata Aira.

Della melirik Gibran yang juga meliriknya. Kemudian ayah dari Aira itu mengusap bahu sang putri.

"Ayah juga seneng akhirnya bisa ngantarin anak Ayah ke sekolah. Aira belajar yang bener ya," sahut Gibran.

"Makasih ya Ayah, Bunda...."

Gibran mengangguk dan memeluk dua wanita yang saat ini ia sayangi.

"Sekarang Aira masuk ya Sayang. Ayah juga mau ke kantor. Oh iya nanti pulang sekolahnya Aira tunggu di sini aja ya. Ayah sama Bunda yang nanti jemput," kata Della.

"Siap Bunda. Dadah.... "

Della dan Gibran ikut melambaikan tangan pada putri mereka yang semakin berlalu dari hadapan.

"Om, Tante," sapa seseorang.

Gibran dan Dirga menoleh ke arah sumber suara yang ternyata ada Dirga yang menghampirinya. Sepertinya pemuda tampan itu baru sampai ke sekolah.

"Eh Dirga? Baru nyampe ya?" sahut Della setelah ia dan suaminya disalami Dirga.

"Iya Tan. Tante sama Om ke sini nganterin Aira?" tanya Dirga dengan mata melirik ke segala arah.

"Iya tapi Aira udah masuk tuh."

"Oh gitu. Dirga juga masuk dulu ya Om, Tante."

"Iya, semangat ya belajarnya."

Dirga mengangguk dan tersenyum sebelum mengikuti langkah teman-temannya untuk masuk ke gerbang sekolah.

_______

"Mau pulang bareng aku, nggak?" tawar  Dirga saat ia dan Aira berjalan di koridor sekolah.

"Mau sih, tapi hari ini ayah jemput aku katanya. Mau makan siang bareng gitu, sih."

Dirga tersenyum lega melihat wajah penuh binar bahagia Aira di sampingnya.

"Wah seru dong. Ya udah deh nanti aku temenin kamu sampai dijemput sama Om Gibran," kata Dirga.

"Emang nggak apa-apa? Ntar Sinta cemburu ... kan tadi akrab banget tuh sama dia," ujar Aira yang tiba-tiba melayangkan kata sindirian.

Sejujurnya hati Aira masih panas karena melihat pemandangan di dalam kelas tadi.

"Ai ... tadi kan aku sekelompok sama Sinta. Masa iya nggak ngomong. Lagian aku maunya sama kamu bukan sama Sinta," kata Dirga menahan tangan Aira, membuat kaki gadis itu ikut berhenti melangkah.

"Hmmm, ya udah."

Bibir Gibran kembali tersenyum saat Aira juga tersenyum tipis padanya. Gadis itu juga tidak menolak genggaman tangan Dirga. Mereka kembali melangkah bersama menuju gerbang.

"Ga," panggil Aira dengan menatap lurus ke depan.

Mereka duduk di kursi panjang di sebelah gerbang sekolah. Biasanya diduduki siswa-siswi yang menunggu jemputan.

"Ya?" sahut Dirga.

"Tante Annisa udah pulang dari luar kota?" tanya Aira.

Annisa adalah ibu dari Dirga. Sejak berteman dengan Dirga, Aira juga sudah mengenal Annisa. Terlebih saat awal-awal mereka dekat, Annisa selalu menjadi saksi kedekatan mereka karena selalu menemani kedua remaja itu jika jalan-jalan.

"Udah. Kamu kangen?"

Tanpa sungkan Aira langsung mengangguk.

"Kapan-kapan deh aku ajakin ke butiknya mamaku ya. Kayaknya mama juga kangen sama kamu," kata Dirga.

"Boleh."

"Oh iya Ai... aku punya sesuatu buat kamu," ujar Dirga membuat Aira menoleh padanya.

"Apa?"

Dirga mengeluarkan sesuatu dari saku jaket denim yang ia gunakan. Kemudian menunjukkan di hadapan Aira.

"Gelang?"

Aira terkesima pada gelang manik-manik mutiara berwarna biru muda yang ditunjukkan Dirga padanya. Simple dan terlihat cantik.

"Iya. Ini untuk kamu ...," kata Dirga.

"Mau aku pakein?"

"Mau dong."

Dirga memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kanan Aira. Karena Aira mengenakan satuan waktu di tangan sebelah kirinya.

"Gelang ini keliatan cantiknya kalau dipake sama kamu," kata Dirga membuat senyum Aira semakin merekah dengan indah.

"Iya deh iya apa kata kamu aja. Makasih ya. Ga, itu mobil ayah aku. Aku duluan ya," pamit Aira ketika melihat Della melambaikan tangannya di depan sebuah mobil yang berhenti di seberang jalan.

"Hati-hati ya Ai. Aku juga mau langsung pulang," sahut Dirga.

"Bye..."

Dirga membalas lambaian tangan Aira sebelum gadis itu menyeberangi jalan.




























Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang