Dirga menatap bingung pada kotak kecil yang entah sejak kapan ada di dalam tasnya. Ia baru ia ingat jika masih ada tugas sekolah yang belum ia selesaikan. Setelah pulang dari kafe tempatnya bekerja, Dirga berniat menyesuaikan tugas sekolahnya.
"Kalung?" gumamnya setelah membuka kotak itu.
Tanpa berpikir ulang pun, Dirga tahu itu kalung siapa. Kalung yang dulu ia sematkan di leher Aira. Dan selalu dipakai oleh gadis jelita itu.
Tangannya meraih lipatan kertas yang diletakkan berdampingan dengan kalung berliontin bintang itu.
Kalungnya aku balikin ya, Ga. Aku nggak ada maksud apa-apa kok. Kalung ini kan harganya nggak murah dan aku pikir kamu lebih butuh.
Aku tau kamu itu pekerja keras tapi nggak apa-apa ya kalau kamu pake kalung itu buat nambahin modal usaha kamu.
Semangat terus ya, Ga.Dirga mematung dengan secarik kertas yang tanpa terasa jatuh begitu saja dari tangannya. Bibirnya tersenyum tipis nyaris tak terlihat. Hatinya berkecamuk. Mengangkat kalung yang ia lihat indah jika dikenakan Aira. Ia tahu niat Aira baik tapi Dirga tidak menyangka jika gadis itu akan mengembalikan kalung pemberiannya dengan maksud agar Dirga menjadikan kalung ini sebagai tambahan kebutuhan materinya yang saat ini memang tidak baik-baik saja.
Dengan gerakan cepat, Dirga meraih jaket dan kunci motirnya lagi kemudian melangkah keluar dari kamar. Ia akan ke rumah Aira. Tidak peduli ini sudah malam. Yang hatinya inginkan adalah bertemu Aira.
"Perasaan lo baru pulang, Ga. Mau kemana lagi?"
Dirga menoleh pada Bagas yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tengah rumah pria itu.
"Gue mau ke rumah Aira, bentar."
"Kangen banget ya, sampe udah semalam ini harus nyamperin ayang dulu," celutuk Bagas seraya menggeleng pelan.
"Kayak lo nggak pernah ngerasain kangen aja sama Naya."
Dirga meninggalkan Bagas yang kembali fokus pada kertas, buku, juga laptop di hadapannya setelah sahabatnya itu memberikan cengiran khasnya.
___________
Marvin mengerutkan dahi begitu usai meletakkan helmnya di atas motor yang ia parkirkan di halaman rumah Gibran. Suara ribut-ribut dari dalam rumah membuat langkahnya semakin cepat ke arah pintu utama. Namun, belum sempat kakinya sampai di sana matanya sudah lebih dulu membelalak melihat sang mama yang ditarik oleh seorang gadis cantik berambut di bawah bahu.
Sebelah tangan Aira menarik paksa tangan Wilda dan sebelahnya lagi menarik koper besar. Dua wanita beda usia itu terlihat tidak ada yang rapi raut wajahnya. Genangan air mata tampak di pipi mereka.
"Mama," serunya.
Marvin meraih lengan ibunya dan berdiri di antara Wilda dan Aira. Tatapan Aira terlihat menusuk pada ibu yang sangat Marvin cintai itu.
"Sekarang lo bawa nyokap lo pergi dari rumah ayah gue. Gue nggak mau lihat Tante Wilda ada di sini!" kata Aira.
Wilda memegang dadanya sembari terus mengeluarkan air mata. Nafasnya memburu. Wanita itu mencoba meraih tangan Aira tapi keponakan itu langsung menghindar.
"Aira ... Tante mohon jangan usir Tante. Tante mau tinggal di mana, ini udah malam. Kamu tega lihat Tante dan Marvin di luar rumah padahal ini udah malam?" lirih Wilda memohon.
Aira sakit melihat dirinya yang tega pada orang lain tapi Hatinya jauh lebih sakit melihat air mata bundanya jatuh karena wanita yang baru beberapa hari ini memasuki rumah ayahnya. Tidak ada anak yang rela melihat ibunya meneteskan air mata.
"Tante tega nyakitin hati bundanya Aira yang udah baik sama Tante. Aira cuma melakukan apa yang harusnya Aira lakukan, Tante. Aira juga nggak mau nyakitin hati Tante tapi hati bundanya Aira jauh lebih sakit dari apa yang Tante rasakan."
Aira membiarkan air matanya jatuh berlinang membasahi pipi putihnya. Marvin yang masih tidak mengerti pun menatap dengan mata memerah pada Aira.
"Apa-apaan sih lo, Ra. Harus ya Lo marah-marah sama nyokap gue kayak gitu? Urusan nyokap gue sama nyokap lo mungkin cuma salah paham dan nggak seharusnya lo hakimin nyokap gue," kata Marvin berdiri di depan ibunya.
Ibu mana yang tidak senang dibela anak laki-lakinya? Tanpa ada yang menyadari senyum tipis nan licik terbit di ujung bibir Wilda. Ia yakin putranya pasti akan selalu ada untuknya.
"Tanya sama nyokap lo!" sahut Aira.
"Lepasin tangan gue, Marvin!" sentak Aira saat tangan kanannya dicekal kuat oleh Marvin.
"Nggak! Sebelum lo jelasin sama gue apa yang sebenarnya terjadi antara nyokap gue dan nyokap lo," kata Marvin semakin mengencangkan cengkeramannya di pergelangan tangan Aira.
Kedatangan Dirga ke rumah Gibran disuguhi pemandangan yang mengguncang emosinya. Ia tidak peduli pada helmnya yang terjatuh saat ia letakkan begitu saja di jok motor. Perhatian pemuda itu sepenuhnya terlalu pada Aira yang meringis kesakitan lantaran tandannya dipegang oleh laki-laki yang Dirga kenal sebagai keponakan dari Gibran.
Emosinya memuncak saat mendengar rintihan Aira. Dirga menghampiri tiga insan itu dan berdehem pelan penuh tekanan. Sontak tiga pasang mata terarah padanya secara bersamaan dengan raut kaget yang tidak Dirga pedulikan.
"Lepasin," ujarnya tanpa nada dibarengi tatapan tajam pada Marvin.
Bukannya mengikuti apa kata Dirga, Marvin malah semakin erat mencekal tangan Aira.
"Lo bukan siapa-siapa gue yang ngomong seenaknya," jawab Marvin.
"Emang lo bukan siapa-siapa gue tapi siapa pun yang berani nyakitin Aira, akan berurusan sama gue!" tekan Dirga.
Dalam hitungan detik tangan Marvin terhempas begitu saja ke udara. Mata Dirga menyorotkan kemarahan melihat pergelangan tangan Aira yang memerah. Ia yakin gadis ini tengah ditimpa masalah yang tidak bisa dibilang ringan, melihat raut wajah dan sorot matanya yang menunjukkan luka.
"Gue mau lo bawa nyokap Lo untuk pergi dari rumah gue sekarang juga."
"Aira...," lirih Wilda.
Aira menatap kecewa Tante Wilda. Hatinya hancur melihat wanita ini. Entah apa kebenaran yang sesungguhnya antara wanita ini dengan ayahnya yang jelas untuk saat ini hati Aira dibuat sakit nan kecewa.
"Pergi Tante."
Marvin meraih tangan ibunya dan mengajak sang mama untuk beranjak dari teras rumah Gibran bersama koper yang ia tarik. Bisa Aira lihat jika Wilda menyeka air mata sebelum menaiki motor Marvin.
"Ai....," gumam Dirga.
Aira menatap Dirga dan menjatuhkan tubuhnya pada pelukan pemuda itu. Meraih delapan hangat yang selama ini berhasil memberi rasa tenang untuknya. Menangis sepuasnya di depan dada Dirga seolah mengadu lewat air mata betapa hancur hatinya saat ini.
Seperti biasa, Dirga mengusap punggung dan rambut Aira. Mendengar dengan setia isak tangis gadis kesayangannya itu. Untuk sekarang, hanya rengkuhan yang bisa ia beri karena Aira pun hanya mengadu tangis padanya.
Sementara itu, Gibran yang mulai terusik karena indra pendengarannya menangkap suara isak tangis seseorang, mulai memberi jarak antar kelopak mata atas dan bawah. Begitu ia tersadar, dahinya mengernyit melihat di mana ia berada. Masih teringat jelas diingatannya jika tadi ia tengah berkutat dengan laptop di ruang kerja kantornya. Dihampiri Wilda dengan segelas kopi yang katanya agar Gibran tidak mengantuk karena masih banyak yang harus dikerjakan.
Mengapa sekarang ia bisa berada di sofa ruang tamu rumahnya? Kernyitan di dahinya semakin tampak jelas dengan perasaan emosi yang hadir karena melihat lewat di pintu yang terbuka, putri kesayangannya tengah direngkuh oleh laki-laki yang ia kenal sebagai teman Aira.
"Aira nangis?" gumamnya.
Hatinya tidak baik-baik saja melihat putrinya mengeluarkan air mata atas sebab apa pun itu. Tangannya terkepal begitu saja. Cemburunya pada Dirga yang mengapa selalu ada di saat Aira meneteskan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomansaDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.