Part 22

3.8K 163 2
                                    

Aira duduk dengan resah di kursi tunggu rumah sakit. Dengan wajah cemas gadis itu memainkan jari jemarinya yang ia letakkan di atas pangkuan. Air mata gadis itu mengalir deras membasahi pipi.

"Kenapa ayah nggak angkat telepon aku ya? Ayah ke mana, sih?" gumamnya sedih bercampur kesal.

Keadaan seperti ini tidak pernah Aira lewati seorang diri. Ia pernah sepanik dan secemas ini saat waktu itu Tante Firly pingsan tapi ada Dirga dan Om Tama yang menemaninya. Sekarang ia kembali di posisi yang sama dan saat ayahnya tengah di luar kota. Tidak ada Dirga di sini. Dua lelaki yang ia sayangi itu tengah sibuk dengan urusannya sendiri.

"Ai," panggil seseorang yang memegang bahunya.

Aira membuka matanya yang terpejam dan langsung bertubrukan dengan tatapan pria yang ia pikir hanya ada dalam ilusinya.

"Dir ... ga? Ka ... kamu di sini?" ucapnya terbata.

Dirga mengangguk. Menatap Aira sendu dan mengusap pipi gadis itu. Hati Dirga selalu seperti tersayat melihat air mata kesedihan di wajah Aira. Ia tarik perlahan tubuh Aira sampai gadis itu ia dekap dengan erat. Di pelukannya Aira kembali menangis.

"Aku pikir aku akan sendirian di sini," gumam Aira tersedu.

Dirga menumpu dagunya pada puncak kepala Aira. Ia berikan dekapan terhangatnya pada gadis itu. Firasatnya tentang Aira tidak pernah meleset. Aira sedang tidak baik-baik saja.

"Selama aku bisa, aku akan selalu berusaha untuk terus ada di samping kamu, Ai. Tenang ya, Tante Della pasti akan baik-baik aja."

Aira mengangguk dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Dirga. Hatinya selalu hangat selama ada Dirga di sisinya.

"Nanti kalau dokternya udah keluar dan kita udah tau keadaan Tante Della, kamu ganti baju ya," kata Dirga mengurai pelukannya dengan Aira.

Aira mendongak menatap Dirga.

"Tapi aku nggak bawa baju," jawab Aira.

Dirga menunjukkan paper bag yang tadi ia bawa ke hadapan Aira. Gadis itu mengerutkan dahi bingung.

"Aku udah beliin. Tadi aku tau kamu ada di sini dari Bagas. Makanya aku langsung ke sini."

Aira meraih paper bag itu dan tersenyum pada Dirga.

"Makasih ya...," ucapnya.

"Sama-sama ... cantik banget sih kalau senyum gini," kata Dirga mencubit pelan pipi kiri Aira gemas.

"Gombal terus Bang," sahut Aira terkekeh pelan.

Pintu ruangan terbuka dan seorang dokter menghampiri Aira juga Dirga.

"Keluarga dari Ibu Della?" tanyanya.

"Saya anaknya, Dok ... Tante Anggi?" pekik Aira kaget melihat siapa yang menangani bundanya.

"Aira? Oh... ya ampun Sayang. Kamu kok di sini?" tanya dokter Anggi bingung menatap bergantian pada Aira dan Dirga.

"Itu yang tadi pingsan, bundanya Aira, Tan. Keadaan bunda gimana ya, Tan? Bunda sakit apa?"

Terdiam sejenak kemudian dokter Anggi menganggguk mengerti. Ia salah satu sahabatnya Firly dan Anggi tahu tentang Aira.

"Bundanya Aira nggak kenapa-napa kok. Kecapean aja. Itu udah sadar di dalam. Aira boleh temuin sekarang ya," kata si dokter.

"Aira boleh masuk, Tan? Terus ada resep obat nggak buat bunda?" tanya Aira lagi.

Dokter Anggi memberikan secarik kertas pada Aira.

"Harusnya sih Tante kasih ke ayahnya Aira tapi karena Aira yang tanya, nih Tante kasih ke Aira."

"Ai, kamu masuk aja sana. Tante Della pasti cariin kamu terus kamu juga kan khawatir banget tadi. Resep obatnya biar aku aja ya nanti. Sekalian aku urus administrasinya," kata Dirga mengundang tatapan kagum Aira padanya.

"E... memang nggak apa-apa kamu ngurusin semuanya? Aku takut ngerepotin kamu," kata Aira menolak halus.

"Nggak repot kok. Sini resepnya. Kamu masuk ya. Nanti aku ke sini lagi," sahut Dirga.

Aira mengangguk dan menatap punggung Dirga yang menjauh. Gadis itu baru kaget saat merasa ada yang menyentuh bahunya, begitu ia menoleh langsung disuguhi tatapan penuh arti oleh Dokter Anggi.

"Langgeng banget ya kalian. Perhatiannya Dirga selalu bikin gemes deh," kata Dokter Anggi yang langsung membuat Aira merona pipinya.

"Apaan sih, Tante... eh Bu Dokter maksudnya. Udah ah, Aira masuk dulu ya Tan," sahut Aira yang diangguki Dokter Anggi.

_________

"Gib, Aline udah sayang banget sama kamu. Masa untuk ketemu sebentar aja sama Aline kamu nggak bisa?"

Gibran membuang tatapan ke lain arah. Wanita di depannya sungguh membuatnya pusing. Dina memang istri dari armarhum sahabatnya dan sejak sahabatnya meninggal dunia, anak mereka dekat dengan Gibran.

Sepulang dari Surabaya tadi pagi, Gibran ingin langsung pulang ke rumahnya namun ditahan oleh Dina karena Dina dan beberapa karyawan di kantor Gibran juga ikut ke Surabaya.

Dina bekerja di kantor Gibran sudah hampir 5 tahun dan sebelumnya Gibran memang sudah mengenal Dina sebagai istri dari sahabat dekatnya.

"Aku nggak bisa Din. Aku harus langsung pulang. Istriku lagi butuh aku," kata Gibran membuat tatapan Dina menjadi berkaca padanya.

Dina menghela nafas panjang kemudian  tersenyum getir.

"Maaf," ucapnya singkat dan berbalik badan tapi belum sempat kakinya melangkah tubuhnya lebih dulu terjatuh.

"Dina!" pekik Gibran dan menghampiri Dina yang tidak sadarkan diri.

________

Setelah menginap satu malam di rumah sakit akhirnya Della pulang ke rumah. Sebenarnya dokter tidak menyarankan untuk dirawat inap hanya saja semua terjadi karena permintaan Aira yang kelewat khawatir pada sang bunda. Ditambah besok hari minggu dan Aira bisa menenami Della selama di rumah sakit.

"Nah, sekarang Bunda harus istirahat yang cukup. Nggak boleh capek-capek dulu. Ntar kalau Bunda lemes terus pingsan Aira nangis lagi," kata Aira menyelimuti sang bunda sampai batas pinggang kemudia ia duduk di tepi tempat tidur.

Della yang duduk bersandar pada susunan bantal di punggungnya tersenyum dan mengulurkan tangannya mengusap Rambut Aira. Terharu ternyata Aira khawatir saat ia pingsan tadi.

"Makasih ya Ra. Bunda sayang banget sama Aira," kata Della dengan mata berkaca.

Aira mengangguk dan bergerak memeluk bundanya sembari tersenyum.

"Iya Bun, Aira juga sayang banget sama Bunda. Makasih udah mau jadi Bunda yang baik banget untuk Aira," balas Aira.

"Sama-sama Sayang."

"Ayah gimana kabarnya ya. Kok kayak nggak ada kabarin bunda," bisik batin Aira dalam pelukan bundanya.

"Bun, Bunda langsung istirahat aja ya. Aira mau bersih-bersih dulu. Nanti ke sini lagi," kata Aira yang melepas pelukannya dari Della.

"Iya Sayang. Habis mandi ada baiknya Aira istirahat juga. Pasti capek kan baru pulang dari rumah sakit," sahut Della.

"Oke Bundaaaa."

Della mengambil amplop putih yang ia dapat dari dokter tadi dan menatapnya dengan mata berkaca. Satu sisi ia bahagia mengetahui jika sebenarnya ia tengah hamil tapi di sisi lain hatinya pilu karena bayangan Gibran dipeluk wanita lain terus mengitari isi kepalanya.

Perlahan tangannya menyentuh perut datarnya, detik itu juga air matanya jatuh. Tidak menyangka jika ia hamil secepat ini. Sebentar lagi ia bukan hanya menjadi bunda bagi Aira tapi juga bunda bagi anak kandungnya sendiri.

"Makasih ya Sayang, udah hadir di perut Bunda. Bunda janji akan jagain kamu sampai waktunya kamu lihat dunia," kata Della mengusap perut ratanya.



Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang