"Lo yakin mau kerja di kafe itu?" tanya Bagas memastikan jika apa yang ia dengar dari Dirga tidak salah.
Kartu kredit yang diberikan oleh Fahri pada Dirga diblokir sang papa. Fahri hanya ingin melihat seberapa tangguh Dirga pada keputusan yang keluar rumah demi Aira. Tidak ada lagi yang yang ia transfer setiap bulannya. Biaya sekolah memang sudah dibayar oleh Annisa.
"Gue serius. Untuk melanjutkan hidup kan gue harus kerja. Nggak apa-apa jadi waiters di kafe yang penting gue bisa hidupin diri gue termasuk mungkin nanti biayain sekolah gue karena nggak menutup kemungkinan kalau papa nggak izinin mama untuk bayar uang sekolah gue," kata Dirga.
Bagas menepuk pelan bahu Dirga. Memberi semangat pada sahabatnya. Bagas tidak bisa banyak menolong Dirga selain memberikan tempat tinggal. Dirga benar, hidup tidak hanya tentang tempat tinggal tapi juga tentang upaya untuk menyambung hidup.
"Semoga lo betah kerja di kafe itu. Semangat ya, demi ayang Aira."
Dirga tersenyum tipis mendengar nama Aira disebut. Seketika wajah penuh ekspresi gadis terbayang di kepalanya.
"Mulai kerjanya kapan?" tanya Bagas.
"Besok sore."
________
"CK, gini amat jadi nyamuknya orang yang lagi bucin," keluh Aira yang berjalan di belakang orangtuanya.
Mereka berjalan bertiga menuju masjid komplek. Biasanya jika Gibran tidak lembur kerja maka keluarga itu akan sholat berjamaah di masjid. Bik Nur tidak ikut karena wanita itu sedang berhalangan.
"Kok jadi nyamuk sih, Sayang. Sini-sini sama Bunda," kata Della merangkul bahu Aira.
Langkah ketiganya terhenti begitu melihat dua remaja laki-laki yang juga berjalan ke arah yang sama dengan mereka tanpa menyadari jika keduanya tengah diperhatikan.
"Lho, itu kan Dirga? Kok dia sama Bagas?" tanya Della yang dijawab gelengan kepala oleh Aira.
"Ganteng banget sih Dirga. Nggak malam nggak siang, gantengnya selalu naik level," gumam Aira tanpa sadar.
Gibran menghela nafas melihat putrinya yang menatap tanpa kedip diiringi senyum manis pada Dirga. Mungkin jika kepala anaknya dibelah maka yang ada di sana hanyalah Dirga.
"Ehem... natapnya biasa aja. Ini kita lagi di masjid buat sholat. Jangan mikir yang lain. Kalau mau lihat orang ganteng liat aja Ayah," sindir Gibran.
Aira yang peka mendengus sebal kemudian memasang wajah meringis mendengar kalimat terakhir ayahnya. Iya sih ayahnya ganteng tapi tidak boleh menutup mata jika di dunia ini banyak orang ganteng termasuk Dirga, kan? Apalagi Dirga jadi sorotan banyak siswi di sekolah karena ketampanannya. Ayahnya tidak tahu saja jika selama ini banyak cewek yang menaruh iri pada Aira karena bisa merasakan dekat dengan Dirga.
"Iya deh sipaling ganteng. Udah sana ayah masuk. Aira sama Bunda juga mau wudhu," kata Aira.
Gadis itu menarik tangan sang bunda untuk menuju tempat wudhu wanita. Gibran pun mengambil arah yang berbeda.
Sementara itu Dirga dan Bagas berdiri bersebelahan tepatnya langsung di belakang imam. Setelah iqamah dikumandangkan tiba-tiba sang imam memegang dadanya, terasa sesak. Dengan sigap Bagas menopang tubuh Pak Umar, yang biasanya menjadi imam di masjid ini.
"Ya Allah, Pak. Bapak kenapa?" tanya Bagas.
"Insyaallah saya baik-baik saja."
Beberapa kali Pak Umar mengatur nafasnya kemudian tersenyum dan menepuk pelan bahu Dirga yang berada di sampingnya.
"Tolong kamu gantikan saya untuk mengimami sholat berjamaah ini, ya. Kamu bisa, kan? Saya khawatir kalau nanti saya tiba-tiba sesak nafas lagi," kata Pak Umar.
Dirga bertukar pandang dengan Bagas yang kemudian diangguki sahabatnya itu. Diam-diam Gibran tersenyum melihat semua itu. Mungkin baik Dirga maupun Bagas tidak menyadari adanya ia di saja karena Gibran mengambil posisi di shaf kedua.
"Baik, Pak."
Dirga maju ke posisi paling depan dan bersiap untuk menghadap Sang Maha Kuasa bersama puluhan orang yang menjadi jamaah sholat Maghrib ini. Pak Umar berdiri di samping Bagas.
_____________
"Ngapain celingak-celinguk gitu, Sayang? Aira lagi nyariin siapa?" tanya Della pada Aira.
Tatapan Aira masih pada arah yang sama yaitu pada pintu masjid yang dikhususkan untuk kaum laki-laki.
"Dirga sama Bagas udah pulang belum, ya Bun?"
Pertanyaan Aira adalah jawaban bagi Della. Wanita itu mengelus bahu gadis di sampingnya dan tersenyum pada Gibran yang semakin mengikis jarak dengan mereka. Tatapan Gibran menjadi penuh selidik pada sang putri yang seperti tak acuh pada kehadirannya. Beberapa saat kemudian kemudian ia menghela nafas karena yakin jika Aira tengah mencari Dirga.
"Aira cari siapa?" tanyanya yang pura-pura tidak tahu saja.
Putrinya sempat tersentak lantas menggeser sedikit tubuh semakin dekat dengannya.
"Eh ... Ayah kok udah di sini aja ya? Bagas....," teriaknya yang membuat si pemilik nama menoleh.
Gibran dan Della sempat saling tukar pandang saat Bagas menghampiri mereka.
"Aira, Om, Tante," sapanya sopan.
"Kenapa Ra?"
"Tadi kayaknya gue lihat Dirga, deh. Bener kan tadi dia bareng ke sini?" tanya Aira.
"Iya tadi Dirga sama gue. Itu lagi ngomong sama Pak Umar di dalam."
"Ohh, yaudah thanks ya."
"Sama-sama. Gue balik duluan ya. Saya duluan Om, Tante," pamit Bagas.
"Ayah sama Bunda pulang duluan aja ya. Aira mau nungguin Dirga bentar karena ada yang mau Aira omongin, Yah."
Gibran mengatupkan kembali kedua bibirnya ketika tangannya dielus oleh sang istri.
"Tapi jangan lama-lama ya," peringat Gibran.
"Iya Ayah... sebentar aja kok. Ini penting banget soalnya," kata Aira.
_________
"Untuk sementara ini aku tinggal sama Bagas dulu. Karena memang aku nggak tau mau tinggal di mana," kata Dirga.
Aira mengajak Dirga untuk duduk di bangku samping masjid. Karena terus-menerus diteror oleh pertanyaan sang gadis akhirnya Dirga buka mulut mengenai kepergiannya dari rumah termasuk alasannya.
"Harusnya kamu nggak perlu lakukan itu, Ga. Aku nggak mau kamu jadi durhaka cuma karena ingin temenan sama aku."
"Tapi aku mau terus sama kamu, Ai. Aku udah janji sama diri aku sendiri kalau aku akan berjuang biar bisa terus sama kamu. Selain itu aku juga kecewa sama papa dan mama yang udah bohongin aku selama ini," kata Dirga.
"Walaupun begitu kamu harus tetap sayang ya sama mereka. Kan Om Fahri sama Tante Annisa udah rawat kamu selama ini," balas Aira lembut.
Dirga mengangguk dan mengambil tangan Aira untuk ia genggam. Aira menatap tangan mereka lalu ikut tersenyum.
"Iya Cantik.... Oh iya maaf ya kalau mungkin mulai besok aku jadi jarang ada waktu buat kamu selain di sekolah karena aku udah diterima kerja di Kafe Bintang."
Sedikit terdengar miris di telinga Aira dan membuat dadanya sesak. Dirga yang ia kenal dari dulu adalah Dirga yang kuat dan pantang menyerah juga mau mencoba hal-hal baru ternyata masihlah Dirga yang itu. Dibesarkan oleh orangtua kaya raya nyatanya tidak membuat Dirga menjadi manja.
"Semangat ya, Ga. Aku seneng lihat kamu yang punya jiwa besar kayak gini. Aku janji kalau aku akan terus sama kamu dan akan terus dukung kamu," ujar Aira.
"Thank you..."
Di Karyakarsa udah sampai part 43 ya. Link ada di bio Ummi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagiaku Bersamamu
RomanceDella tidak tahu jika dirinya akan menikah dengan Gibran.