Part 37

4.2K 132 4
                                    

"Mas/Dell."

Keduanya saling tatap kemudian sedikit saling tukar senyum canggung. Entah mengapa suasananya tampak hening seperti ini.

"Emm Mas duluan aja," kata Della.

"Aku mau jelasin soal rumah yang kamu pikir aku beli untuk Dina yang padahal itu dia beli sendiri aku cuma bantu Carikan aja karena memang Firman kenal sama pemilik rumah itu. Selain berterima kasih sama aku, Dina juga berterima dengan serupa ke Firman, kok."

Della mengerjap beberapa kali. Masih dalam diamnya ia menunggu Gibran melanjutkan perkataannya.

"Maaf aku belum kasih tau ke kamu soal ini karena sebenarnya Dina beli rumah itu udah lama, sebelum kita menikah tapi emang baru ditempatinya kemarin pas dia kirim chat itu," jelas Gibran.

Della menatap mata Gibran dan mencari letak kebohongan sang suami di sana tapi sulit untuk ia temukan itu.

"Kalau kamu nggak percaya kamu bisa tanya ke Firman atau langsung ke Dina juga boleh," ujar Gibran lagi mencoba meyakinkan sang istri.

"Soal Mbak Vanya?"

Tatapan Della kini berubah pada Gibran. Apa suaminya akan membahas tentang dirinya yang kerap didatangi rasa cemburu setiap ia melihat Gibran menatap bingkai foto Vanya.

Gibran tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Siap menjelaskan pada sang istri perihal itu juga.

"Bukan maksud aku melarang kamu untuk ingat sama ibunya Aira, Mas. Tapi untuk sekarang kamu nggak sendiri, kamu punya istri untuk tempat cerita. Maaf kalau merasa jadi istri yang kurang berguna buat kamu karena belum bisa menjadi tempat cerita kamu."

Gibran mengusap wajahnya dan menggeleng pelan. Ia menatap wajah cantik Della yang matanya sembab. Itu pasti habis menangis.

"Aku cerita sama fotonya Vanya karena aku nggak mau kamu banyak pikiran, Dell. Kamu lagi hamil dan aku nggak mau kalau nantinya stress."

Gibran merubah posisinya menjadi menumpu tubuhnya menggunakan kedua lutut di lantai. Tepat di depan Della yang masih duduk berjuntai di tepi tempat tidur. Della tidak mengelak saat tangannya digenggam oleh sang suami. Sungguh, ada rasa hangat di setiap genggaman tangan Gibran.

"Della, aku nggak ada maksud untuk nggak menjadikan kamu tempat untuk cerita. Sedikit pun nggak pernah terlintas di pikiran aku kalau kamu kurang berguna sebagai seorang istri. Aku beruntung punya kamu."

"Kamu udah mikirin aku, lagi hamil dan masih harus manjain Aira yang kadang tingkahnya kayak kecil masa aku tambahin lagi dengan masalah yang sedang aku pikirkan. Aku takut kamu jadi stress, Dell. Aku nyaman cerita sama kamu kayak aku pernah cerita ke kamu soal Aira, kan waktu itu? Kamu bawa semua perubahan di diri aku."

Della membalas genggaman tangan Gibran.

"Aku nggak pernah merasa direpotkan sama kamu atau Aira, Mas. Aku ini istri kamu. Izinkan aku untuk terlibat dalam setiap hal yang kamu jalani ya," pinta Della.

Gibran mengecup jemari sang istri lembut. Intinya sang istri ingin perannya lebih ditonjolkan lagi sebagai istri dan seorang ibu. Mungkin Della cemburu karena Gibran diam-diam bercerita pada pigura Vanya tentang percintaan Aira, putri mereka. Maafkan Gibran karena telah menyinggung perasaan sang istri.

"Sekarang kan aku udah jadi ibunya Aira. Bolehkan kalau aku ikut tau tentang Aira dan masalah apa yang tengah dia hadapi."

"Iya Sayang. Aku janji setelah ini apa pun akan aku ceritakan ke kamu. Aku akan lebih terbuka sama kamu tentang apa pun itu termasuk Aira. Maafin aku ya," ucap Gibran.

Della menarik kedua sudut bibirnya kemudian tersenyum manis pada sang suami. Gibran bangun dan meraih tubuh Della ke dalam pelukannya. Mendekap erat sang istri yang baru ia buat luka hatinya. Kecupan hangat ia berikan di puncak kepala Della yang bersandar nyaman di dadanya.

"Anak ayah kangen nggak sama Ayah?" tanya Gibran meletakkan tangannya di atas perut Della.

"Udah nggak kan udah dipeluk sama Ayah," sahut Della mendongak agar bisa menatap sang suami.

Detik itu juga keningnya dilabuhi kecupan manis dari Gibran. Gibran kembali memeluk erat Della, mengobati rindu yang mendamba. Bahagianya seperti direnggut saat melihat Della pergi meninggalkannya. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana cara ia melanjutkan hidup jika Della tidak mau mendengar penjelasannya tadi.

"Aku janji akan lebih mempertegas hubungan kita di depan semua orang termasuk Dina, Dell. Aku nggak ada rasa apa-apa sama Della selain kasihan dan pertemanan biasa," gumam hati Gibran.

____________

"Kamu nggak mau pulang aja, Ga. Bik Nur udah pulang, aku udah nggak sendirian lagi," kata Aira yang melihat Bik Nur berlalu ke belakang.

Ia dan Dirga duduk di kursi depan rumah sembari bercengkrama tentang apa saja. Usai sholat Maghrib tadi, Dirga tidak langsung pulang katanya ingin menunggu Gibran-Della atau Bik Nur pulang dulu. Tadi Bik Nur pamit ke market sebentar.

"Beneran nggak apa-apa kalau aku pulang?"

Aira mengangguk yakin.

"Tapi kan Om Gibran sama Tante Della belum pulang, Ai. Kamu nggak mau aku antarin ke rumah Oma Lisa aja?"

Aira menggeleng pelan. Gadis itu mengangkat tangannya untuk melihat jam.

"Jauh tau. Udah ih kamu pulang aja ya. Nanti juga ayah sama bunda aku pulang," kata Aira lagi.

"Ya udah aku pulang. Kalau ada apa-apa kamu langsung telepon aku ya," sahut Dirga yang langsung diangguki Aira.

Setelah menaiki motornya, Dirga tidak langsung pulang pria itu malah berhenti di depan Aira membuat gadis itu mengernyit bingung. Dirga meniup telapak tangan kirinya kemudian menempelkan telapak tangan itu tepat di pipi sebelah kanan Aira.

"Dadah....," ujar Dirga langsung tancap gas sebelum Aira sadar akan apa yang ia lakukan.

"Dirgaaaaaaa," pekik Aira memegang kesal.

Gadis itu memegang pipinya yang ia anggap menjadi korban dari kejahilan Dirga. Namun pipinya merona dengan senyum malu yang untung tidak ada yang memergoki.

"Jahil banget sih Dirga," gumam Aira tersipu.

Sementara itu Dirga yang baru saja masuk ke dalam rumahnya langsung ditahan langkahnya oleh tatapan tajam sang papa yang berdiri di ruang tamu.

"Sudah berapa kali Papa bilang sama kamu Dirga, jauhi Aira. Kamu ngerti bahasa Indonesia, kan? Tahu arti menjauhi?!"

Dirga meletakkan kunci mobilnya di atas meja dan berjalan mendekati sang papa lalu meraih tangan pria dewasa itu untuk ia salami. Berlanjut melakukan hal serupa pada sang mama yang baru muncul dari kamarnya. Sepertinya Mama Karin kaget mendengar suara Fahri yang lantang.

"Maaf Pa...."

"JAUHI AIRA. Kamu berteman sama yang lain aja selain Aira. Banyak, kan temen kamu yang lain?"

Wajah Fahri terlihat emosi dan terasa sekali jika kemarahan pria itu sudah dipuncak. Melihat itu Dirga mencoba tenang dan mengatur nafas agar bisa menyahuti ucapan sang papa dengan tanpa emosi.

Di Karyakarsa udah sampai part 39 ya.

Linknya ada di bio Ummi.

Bahagiaku BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang