29. ROOFTOP DAN SENJA

1.2K 173 12
                                    

Bersama sang mentari yang perlahan turun dari jingganya langit, kedua insan ini duduk dengan segelas kopi dan matcha di rooftop gedung studio tempat mereka berlatih vokal. Keduanya memilih untuk memesan minuman lalu naik ke rooftop setelah latihan berakhir, dibandingkan segera pulang tanpa tujuan.

Paul, sudah bisa dipastikan laki-laki ini akan menghabiskan malamnya dengan bermain game atau sesekali memetik senar gitarnya. Membuka sosial media, lalu kembali bermain game. Hari ini tidak ada jadwal penting yang harus ia lakukan selain latihan vokal.

Dan Nabila, malam ini seharusnya menjadi malam yang menyenangkan karena Salma, sahabatnya telah membuat janji beberapa hari lalu untuk pergi ke salon baru yang ia temui di sosial medianya, akan tetapi dua jam sebelum janji temu mereka Salma membatalkannya karena ada urusan mendadak yang harus dilakukan.

Jadi, dapat disimpulkan keduanya sama-sama tidak memiliki rencana malam ini. Dan bagi Paul, duduk di rooftop menikmati sang surya yang perlahan pamit bukanlah ide yang buruk.

Ada beberapa pertanyaan yang ia ingin sekali tanyakan pada Nabila sejak pertama kedatangan mereka. Nabila kehilangan senyum lebarnya, ia hanya senyum dan tertawa jika diperlukan, selebihnya datar.

“Nabila, kalau ada apa-apa cerita,” ucap Paul membuka percakapan mereka sore ini.

Nabila bergantian melihat ke arah laki-laki yang ada di hadapannya, lalu menatap hiruk pikuk kota Jakarta dari ketinggian untuk beberapa saat. Lalu, diam menjadi jawaban atas pertanyaan Paul.

“Kamu kenapa hari ini keliatan gak bahagia, aku ada salah? Atau gimana sayang?” tanya Paul sekali lagi, memastikan perempuan kesayangannya baik-baik saja.

“Aku… gak jadi,” sahut Nabila setengah-setengah.

“Aku paling gak suka kalau ada orang mau jelasin terus tiba-tiba gak jadi.” Paul menunjukkan raut tegang, membuat suasana tidak menyenangkan semakin terlihat sore ini.

Komunikasi adalah kunci dari sebuah hubungan, Nabila pasti tahu itu. Tapi, tidak terjadi sekali dua kali perempuan di hadapannya ini enggan untuk bercerita, memilih memendam semuanya sendirian dengan berdalih; gak penting juga kok.

Bagi Paul, tidak peduli penting atau tidaknya, jika hal itu mengganggu pikiran, apa salahnya untuk diceritakan? Berdiam diri juga tidak akan menyelesaikan masalah.

“Gak penting juga kok,” sahut Nabila sesuai dugaan Paul.

“Emang harus penting dulu baru diobrolin? Kan engga. Kamu lagi ngobrol sama pacarmu, bukan sama presiden,” jawab Paul to the point.

“Ya engga, tapi aku terlalu sering bahas ini. Takut kamu capek dengerinnya,” ungkap Nabila. Sejujurnya, bukan karena tidak ingin mengungkapkan isi pikirannya, tapi Nabila sadar jika ini bukanlah hal yang perlu ia bahas.

Selain karena tidak penting, pikiran ini memang terlalu sering ia pikirkan. Jangankan untuk membahas dengan Paul, memikirkannya sendiri saja sudah membuatnya muak.

“Kata siapa aku capek dengerin?” tanya Paul, “Nab, mau seribu kali kamu cerita pun aku gak mungkin capek. Bahkan itu jauh lebih baik daripada kamu diem dengan wajah murungmu,” lanjut Paul.

“Aku lagi suka overthinking, mikir kedepannya gimana. Aku gak tau kenapa mood aku belakangan ini suka gak baik, apalagi ke kamu. Aku takut banget ngerepotin kamu Paul, aku selalu marah, cemburu, kadang aku maksa kamu buat selalu call sama aku. Pokoknya hal-hal yang gak berguna lainnya, aku takut kamu gak nyaman sama sifat aku,” ungkap Nabila.

Nabila tahu, Paul tidak mungkin setuju dengan pikiran tersebut. Seringkali laki-laki itu membantahnya, menerangkan sebaik mungkin bahwa Nabila bukanlah beban yang harus Paul singkirkan, apalagi membuat Paul tidak nyaman.

INFINITY LOVE [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang