нαρρу яєα∂ιηg
*
*
*
*Lutut Nabila lemas, dadanya berdetak kencang, matanya semakin panas menahan benih yang memaksa untuk dikeluarkan, tangannya bergerak menggulirkan ponsel milik Paul, meskipun hatinya tak mampu lagi melanjutkan.
Percakapan gila yang sedang Nabila baca membuatnya harus memutuskan apa yang ia lakukan setelahnya.
Nabila tersenyum sinis, sesekali menatap Paul dengan kebencian yang semakin menguat. Hatinya dihancurkan sehancur-hancurnya oleh cinta pertama yang Nabila yakini akan membawanya pada akhir yang bahagia. Kini tersadar, bahagia memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab diri sendiri.
Persetan dengan semua kebahagiaan yang Paul janjikan, pada kenyataannya Paul menggoreskan luka dengan tangannya sendiri, sesukanya, sebanyaknya, membuat tak ada kepercayaan yang tersisa disana.
Apakah ini akan menjadi akhir dari semua yang telah Nabila perjuangkan?
Dimana Paul yang kerap kali membujuk rayunya, dimana Paul yang selalu berhati-hati berbicara agar perempuannya tidak salah paham ketika Nabila sedang marah. Dimana Paul yang berjanji untuk setia padanya, berjanji takkan ada hati lain yang ia perjuangkan.
“Oh, mainnya udah sejauh ini?” ucap Nabila, mencoba tegar. Berbicara seolah ini bukan hal yang perlu dipermasalahkan.
“Nab, gak kayak yang kamu lihat.” Paul berusaha menjelaskan. Menjelaskan fakta yang Nabila lihat, mengatakan seolah semuanya tidak seperti yang Nabila pahami.
Apanya yang perlu dijelaskan. Percakapannya dengan Tata sudah sangat jelas. Jelas dipahami dan jelas membunuh perasaan Nabila detik demi detiknya.
“Gimana kemarin di hotelnya, seru gak? Duh, pasti seru sih. Mau ngebayangin tapi takut dosa, baca chat kalian aja aku udah ngerasa dosa banget hahaha.” Tawa yang sangat Nabila paksakan pada ujung percakapannya. Hatinya rapuh, tapi egonya memilih untuk menyembunyikan semuanya.
“Wow, jadi gak cuma aku yang kamu beliin buket bunga tiap bulan? Dia juga? Hahaha, adil banget kayaknya.”
“Oh, jadi waktu kamu tiba-tiba pesenin go food pake saos pedes padahal aku gak suka, ternyata salah kirim? Harusnya itu buat dia, dan yang barbeque malah ke kirim ke alamat dia?” ucap Nabila menerangkan apa yang ia baca pada ponsel Paul. Amarahnya memuncak, tapi sekali lagi, Nabila menahan semuanya.
Pertahanan yang mungkin kelak akan menjadi bom waktu.
“Pantesan udah gak pernah ngajakin aku main bola, ternyata tiap main anter jemput tuan putri dulu.” Nabila mengangguk, seolah paham. Paham dengan situasi paling buruk yang tidak pernah Nabila bayangkan sebelumnya.
Paul diam, ia tahu Nabila sedang marah. Namun perempuan ini pandai sekali menyembunyikan semuanya, meskipun jelas terlihat pada sorot kebencian yang Nabila kirimkan padanya.
“Sama-sama sibuk manggung, tapi kamu enak ya, manggung ditemenin bidadari. Harusnya aku juga cari pangeran, biar semangat. Manggung kan capek ya? Apalagi harus interaksi sama penonton setelah nyanyi, makin terkuras energinya.”
“Sekarang aku jadi paham kenapa kamu gak pernah capek, kan abis manggung langsung isi baterai. Di hotel pula hahahah,” sarkas Nabila. Dadanya naik turun, oksigen semakin susah untuk ia terima. Nabila menaikkan sisi kanan bibirnya, matanya menyorot Paul, menunggu penyangkalan apalagi yang akan laki-laki bajingan ini katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFINITY LOVE [OPEN PO]
FanfictionINI FIKSI!!! Cerita ini dihadirkan karena banyaknya permintaan dari pembaca AU saya di tiktok @Bobayellow Ini adalah sebuah cerita fiksi dengan pemeran utama Paul dan Nabila, apabila ada kesamaan pada cerita, mungkin itu manifesting atau beberapa p...