-Prolog-

366 34 2
                                    

"JUAN!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"JUAN!"

"SINI KAMU!"

Enam bersaudara, yang sedang menikmati hidangan mereka dengan damai, tiba-tiba terkejut oleh seruan keras sang ayah.

Napas mereka terhenti sejenak, kekhawatiran memenuhi ruang di antara mereka, menyadari bahwa hari ini tidak akan berjalan sebagaimana yang mereka harapkan.

Juan, dengan cepat merespons panggilan ayahnya, meninggalkan meja makan dan mendekati sang ayah dengan langkah cepat.

Sebelumnya, ia telah memberi isyarat kepada para saudaranya untuk tetap di tempat, memahami bahwa saat ini hanya Juan yang dipanggil oleh sang ayah.

Jidan Anggara, sang ayah, menatap tajam putranya yang keempat, "BAGAIMANA MUNGKIN ANAK YANG TERLAHIR DARI RAHIM ISTRIKU BISA MENDAPATKAN NILAI SEBURUK INI?!"

Dengan penuh kemarahan, Jidan melemparkan kertas ujian dengan nilai berwarna merah tepat di wajah Juan.

Kertas itu terjatuh dengan berat, menjadi simbol dari kekecewaan sang ayah terhadap nilai buruk yang diperoleh Juan.

Juan menatap kertas itu dengan perasaan campur aduk, merasa malu dan sedih atas kegagalan yang telah mengecewakan ayahnya.

Juan merasa kehilangan suaranya, mulutnya terasa kering dan kelu saat hendak berbicara.

Rasa takut yang memenuhi hatinya membuatnya terdiam, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan sang ayah yang penuh kemarahan.

Jidan mulai berjalan mendekati putranya, "JANGAN DIAM SAJA DAN BICARALAH!"

"Maaf," sahut Juan pelan.

Jidan menghela napas dalam-dalam, merasa muak dengan permintaan maaf yang selalu dilontarkan oleh putranya. "Apa yang bisa kamu lakukan Juan? Nilaimu buruk, sikapmu mengecewakan, dan tubuhmu itu penyakitan! Apa yang akan kamu perbuat supaya bisa membanggakan kami, Juan?!"

Mendengar perkataan sang ayah, Rian berjalan dengan cepat menghampiri mereka. Ia sudah cukup menahan diri sejak ayahnya membentak adik kesayangannya itu.

Dengan wajah tegang namun penuh dengan keberanian, Rian siap untuk berdiri di samping Juan, memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh adiknya dalam situasi yang sulit ini.

Jidan menatap tajam pada putranya yang kedua, "Jangan berani-berani bela adikmu itu, Rian. Kembali ke meja makan dan makanlah!"

Rian terkekeh mendengar perkataan ayahnya, "Gimana Rian bisa makan dengan tenang kalo ayah terus teriak kaya gitu?" tanyanya seraya bergerak dengan cepat membawa Juan ke belakang tubuhnya, berusaha melindungi adiknya dari kemarahan ayahnya.

"Rian, jangan sampai ayah ulangi perkataan ayah lagi. Kembali ke meja makan atau adikmu yang penyakitan ini akan ayah usir dari rumah ini!" ujarnya penuh penekanan sambil menunjuk ke arah Juan.

A LITTLE HOPE || END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang