Juan membuka matanya dengan perlahan. Dia merasakan permukaan yang dingin dan keras di bawah tubuhnya yang lemas.
Perlahan, kesadarannya mulai menyergap, dan dia menyadari bahwa dia bukanlah di tempat tidurnya.
Langit-langit di atasnya terlihat asing, tak ada kesan yang dikenalinya. Dengan susah payah, dia mencoba untuk duduk, tapi tubuhnya terasa begitu berat dan lemas, seolah-olah terkuras energinya secara tiba-tiba.
Rian berjalan mendekati adiknya yang terlihat kebingungan, "Udah bangun? Gimana keadaan lo sekarang?"
Dengan mata yang masih mencari-cari kejelasan, Juan melirik orang yang berdiri di dekatnya. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi yang penuh pertanyaan, tetapi Juan tetap berusaha untuk tersenyum. Senyuman tipis yang bahkan hampir tidak terlihat sedikitpun.
"Ini bukan kamar Juan," ucapnya pelan.
Rian membantu Juan untuk mendudukkan diri, "Emang bukan, kita kan di-"
"Di rumah sakit loh bang, apa abang nggak liat di tangan abang nempel selang infusan gitu?"
Rian memutar bola matanya dengan malas, merasa kesal pada Rio karena telah memotong pembicaraannya.
Dia yakin setelah ini, Rio tidak akan mendapatkan uang jajan darinya.
"Kok lo ada disini, nggak sekolah?" tanya Rian yang masih kesal. "Bolos?" Juan ikut menimpali.
"Enggak lah, mana berani Iyo bolos. Kalo iya pun yang ada ntar malah di usir sama ayah, kan nggak lucu." Rio menghela napas lemas, "Bang, lo disuruh pulang sama ayah."
"Jangan di dengerin, udah tau anaknya pake selang infus gini masih aja di suruh pulang," ujar Rian malas.
Pandangan mereka teralihkan saat mendengar suara berisik di balik pintu. Juan merasa cemas saat mendengar tangisan dari Samuel, adiknya, berteriak agar ayah mereka tidak masuk ke dalam ruang rawatnya.
"Samuel, kenapa?" tanya Juan panik.
Menggeleng, Rian menyuruh Juan untuk tidur kembali dan meminta Rio untuk menemani Juan. Setelah memberikan instruksi itu, Rian segera keluar dari ruang rawat, untuk menangani situasi di luar.
Tatapan Rian menjadi tajam saat melihat ayahnya mencekal kuat lengan Samuel. Dengan suara tegas, ia mengatakan, "Lepasin tangan adek!" Suaranya penuh dengan keberanian dan keputusan untuk melindungi adiknya.
Rian dengan cepat menghampiri Samuel, menarik adiknya dengan lembut, dan langsung menyembunyikan Samuel di belakangnya.
Gerakannya dilakukan dengan cepat dan tegas, menunjukkan ketegasan dalam melindungi Samuel.
"Kenapa adikmu menjadi seperti itu, Rian? Dia bahkan berteriak padaku. Juan pasti mengajarkan hal yang tidak benar padanya!" ujar Jidan Murka.
"Kenapa ayah tidak menyalahkan diri sendiri saja? Bukankah ayah yang selalu berteriak? Bahkan saat di hadapan Samuel sekalipun ayah tak segan-segan meneriaki kami. Sekarang, kenapa ayah malah melempar kesalahan ayah kepada orang lain?" tanya Rian dengan napas yang terengah-engah mehanan segala emosi yang ada dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE HOPE || END
Teen Fiction"Maaf, Juan udah berusaha. Tapi penyakit 'gagal ginjal' ini seakan-akan ingin membunuh Juan detik ini juga." "Jangan ngomong gitu, Juan harus inget kalo Juan punya lima sodara yang siap donorin ginjalnya sama Juan kapanpun itu!" Di tengah cobaan y...