Suasana terasa mencekam. Juan menatap Jidan tajam, begitu pun dengan Jidan. Mereka tidak mau mengalah.
"Apa maksudmu mengatai saya seorang tiran, Juan?!" Jidan berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.
"Apa kamu lupa? Semua yang terjadi di rumah ini adalah karena kamu. Dasar simbol pengkhianatan, kamu yang merusak keluarga saya! Sial, kamu anak sial, Juan! Harusnya kamu sadar diri!!"
Juan menarik napas dalam-dalam, matanya penuh dengan tekad. "Iya, Ayah benar. Semua karena Juan. Oleh karena itu, cukup nyakitin saudara Juan dan silakan siksa Juan sampai Ayah puas. Sampai Juan mati sekalipun, Juan gak peduli, asal Ayah nggak nyakitin saudara Juan!"
"JUAN, SIALAN, LO NGOMONG APA! GUE CERITA TENTANG PENYAKIT GUE BUKAN PENGEN LIAT LO KAYA GINI, JUAN!!!" Rian berteriak meski suaranya lemah dan penuh kesakitan. Dia sakit, dan itu karena keinginannya sendiri untuk membela Juan, bukan karena Juan atau siapapun.
Bella terkejut. Jauh dari lubuk hatinya, ia memang menyayangi anak-anaknya, namun ia lebih takut pada Jidan. Bella mengakui jika ini semua adalah salahnya. "Ini salahku, Jidan, sudah cukup," Bella bersuara, suaranya gemetar.
"Benar sekali ini salahmu, salahmu yang serakah, Bella!" Jidan kini menatap Bella dengan penuh kemarahan. "Jika kamu tidak berkhianat, maka anak sial itu tidak akan terlahir ke dunia ini dan kita hidup bahagia!"
Bagai tersambar petir, Juan merasa sakit yang mendalam. Benar, semuanya salah dia. Rasa bersalah dan kekecewaan menghancurkan hatinya, membuatnya merasa semakin terpuruk. Dia menatap ayah dan ibunya, tak tahu harus berkata apa lagi.
Malam itu, suasana di rumah semakin mencekam. Pertengkaran yang penuh emosi dan rasa sakit menambah beban yang telah lama menghantui keluarga mereka.
Kepala Rian terasa sakit kembali, padahal sudah ia tahan sebisa mungkin, namun rasanya memang tak tertahankan. Yuan sadar akan hal itu dan segera menghampiri Rian.
"Istirahat ya, Bang?" tanya Yuan dengan lembut, penuh perhatian.
Rian menyahut dingin, "Gue nggak butuh yang namanya istirahat, Yuan."
"Jangan gila, Bang. Lo lagi nggak sehat, dengerin Yuan buat kali ini aja," kata Yuan, suaranya penuh kekhawatiran.
Rian menatap Yuan, mencoba menahan rasa sakit yang semakin kuat. Di balik tatapan dinginnya, terlihat keteguhan hati dan kelelahan yang luar biasa. Yuan berusaha menenangkan saudaranya, memegang bahunya dengan lembut.
"Kita nggak bisa terus begini, Bang," bisik Yuan. "Gue nggak mau lihat lo tambah parah. Lo penting buat kita semua, buat gue."
Rian menghela napas, merasa kepalanya semakin berat. Perlahan, dia mengangguk, menyadari bahwa melawan rasa sakitnya sendiri hanya akan memperburuk keadaan. "Oke, Yuan. Tapi cuma kali ini aja," katanya lirih, mencoba tersenyum meski sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE HOPE || END
Teen Fiction"Maaf, Juan udah berusaha. Tapi penyakit 'gagal ginjal' ini seakan-akan ingin membunuh Juan detik ini juga." "Jangan ngomong gitu, Juan harus inget kalo Juan punya lima sodara yang siap donorin ginjalnya sama Juan kapanpun itu!" Di tengah cobaan y...