18-Heran

49 13 0
                                    

Pagi hari pun tiba, sudah saatnya keenam bersaudara itu untuk berangkat sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari pun tiba, sudah saatnya keenam bersaudara itu untuk berangkat sekolah. Juan mati-matian menahan rasa sakit bekas pukulan dari ayahnya semalam.

Juan tidak ingin saudaranya tahu bahwa ia mengalami kekerasan lagi dari sang ayah. Namun, Rian, yang paling teliti di antara mereka, tidak bisa dibohongi begitu saja.

"Muka lo pucet, sakit?" tanya Rian dengan nada penuh perhatian.

Juan menggelengkan kepalanya, mencoba meyakinkan Rian bahwa semuanya baik-baik saja.

"Jangan bohong, please. Gue nggak suka kalo lo nyembunyiin rasa sakit lo."

Juan panik, takut Rian tahu bahwa Jidan telah menyiksanya semalaman. Dua pukulan dari Jidan cukup membuat Juan ingin meninggalkan dunia ini.

Juan merasakan rasa sakit yang luar biasa di ginjalnya, namun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

"Serius, Juan nggak apa-apa, Bang. Cuma kurang tidur aja," kata Juan, mencoba tersenyum meskipun wajahnya jelas menunjukkan rasa sakit.

Rian menatap Juan dengan cermat, ragu-ragu untuk mempercayai kata-katanya. "Oke, kalau lo bilang gitu. Tapi, kalo ada apa-apa, lo harus cerita ke gue. Gue nggak mau lo nyimpen semua sendiri."

Juan hanya mengangguk, berharap itu cukup untuk menenangkan Rian. Ia tahu bahwa saudaranya itu hanya peduli padanya, tetapi ia tidak ingin membebani mereka dengan penderitaannya sendiri.

Juan berharap bisa menjaga rahasia ini lebih lama, setidaknya sampai ia menemukan cara untuk melindungi mereka semua dari Jidan.

Saat mereka bersiap-siap untuk berangkat sekolah, Juan berusaha menutupi rasa sakitnya dengan senyuman palsu dan semangat yang dibuat-buat.

Tetapi di dalam hatinya, ia merasa hancur dan putus asa, bertanya-tanya berapa lama lagi ia bisa bertahan dalam situasi ini.

"Juan, kamu harus inget kata-kata saya semalam. Pastikan semua saudaramu tidak ada yang berani membantah saya," bisik Jidan pada Juan yang berpamitan untuk pergi ke sekolah.

Juan mengangguk, paham betul akan konsekuensi jika ia tidak menuruti sang ayah.

"Ini bekalmu, setengah seperti sebelumnya. Terserah mau kamu pakai untuk apa, jangan minta lagi," ujar Jidan tegas. "Jangan pulang terlambat setelah kerja paruh waktu."

Lagi-lagi, Juan hanya mengangguk, menahan perasaan marah dan sedih yang berkecamuk di dalam dirinya.

Setelah itu, ia berpamitan pada kelima saudaranya. Sebelumnya, ia sudah memesan taksi online untuk berangkat ke sekolah.

~~~~~ A LITTLE HOPE ~~~~~

Saat berada di dalam taksi, Juan merenungkan nasibnya. Bekal yang diberikan Jidan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, apalagi dengan penyakit yang dideritanya.

A LITTLE HOPE || END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang