Bab XV : Menstruasi

912 19 2
                                    


Perutku sakit.

Sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit-sakit.

SAKIIIIIIT!!!

Tak peduli sekuat apa aku meremasnya, rasanya tetap saja sakit. Semakin aku menekan perut bawah, nyeri itu malah semakin menyengat. Saking menderitanya aku sampai berguling-guling hingga jatuh dari kasur. Otot perutku terasa keram, berkontraksi hebat hingga serasa kejang.

Anjriiit!

Kenapa ini? Rasanya seperti terkena maag, tapi ini jauh lebih menohok. Seolah seseorang baru meninjuku tepat di perut. Hantaman itu terus berlanjut tanpa sedikitpun jeda untuk berhenti.

Mataku terpejam erat seraya kepala menengadah tinggi, tak kuasa menahan nyeri.

Pandanganku memburam. Air mata menggenang hingga mengganggu penglihatan. Susah payah aku bangkit menuju toilet. Impuls pedih itu menjalar menuju punggung, pinggang, hingga kedua paha.

Aku ingin menangis.

Ini kenapa?

Apa aku terkena semacam penyakit?

Rasa takut mulai meneror tanpa disadari. Jangan-jangan ini semacam efek samping setelah berganti jenis kelamin? Dokter bilang ada perubahan hormon yang sangat signifikan dari dalam tubuhku.

Beragam asumsi muncul sebagai hasil dari imajinasi. Mungkin aku memang benar akan mati.

"Ya Tuhan, kenapa ini?"

Lenganku memutar keran untuk mengucurkan guyuran shower.

Tahu setrika, 'kan? Kalau lagi menyala bawahnya panas, 'kan? Nah, bayangkan logam membara itu ditempel di perutmu. Lalu tambahkan juga ada orang gendut berdiri di atas sana, menekan keras hingga seisi organ terasa hendak meledak keluar.

Tangisku tenggelam dalam bisingnya suara gemercik air. Keramik pada dinding kamar mandi terasa licin ketika aku menyandar. Aku ingin berlama-lama di bawah siraman air hangat. Setidaknya ini meringankan sakit yang mendera.

Otot punggungku serasa ditarik. Nyeri itu terasa semakin melilit. Dalam penderitaan berkepanjangan aku merintih. Berulang kali aku meratap, memohon ampun atas segala dosa yang pernah kuperbuat.

Batinku meracau tiada henti seraya memejam mata,

"Maafkan aku..."

"Maafkan aku..."

Aku bahkan tak tahu kepada siapa aku meminta maaf.

"Maafkan aku..."

Mungkin ini karma. Selama ini aku terlalu sering melecehkan perempuan. Sekarang aku dipaksa untuk menjalani hidup sebagai mereka.

"Maafkan aku..."

Kepalaku tertunduk, menatap gamang lantai keramik berisi rintikan air. Bibir ini tiada henti mengucap permohonan maaf berulang kali.

Sumpah, dari segala macam nyeri ketika dulu berkelahi, penderitaan ini jauh lebih menyakitkan dari ragam luka yang pernah kualami.

Setetes noda hitam menyebar di tengah genangan.

Lebih jauh aku memeriksa, kucuran substansi asing itu meluncur turun dari balik kedua paha. Lenganku bergerak menyelidik, berusaha mengenali cairan aneh berbau amis.

Napasku serasa tertahan, sedetik setelah memikirkan sebuah kemungkinan.

Itu darah.

Itu darah?

Ya Tuhan, itu beneran darah!

Datangnya dari balik rimbunnya bulu dekat vagina. Batinku memekik keras, panik atas kucuran darah. Pedih yang mendera ternyata berujung pada sebuah pendarahan. Aku akan mati, oh..., aku benar-benar akan mati!

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang