Bab XXXV : Qarin

186 12 2
                                    

Mataku setengah terbuka, merasa ragu untuk menatap realitas. Kulihat makhluk aneh tadi sudah menghilang dari hadapan. Keberadaannya digantikan oleh sang pemimpin berukuran raksasa. Dia berdiri mematung di kejauhan, menatapku dengan mata semerah darah. Kulihat para bawahannya membentuk barisan rapi, seakan jarak di antara kami merupakan lahan suci yang harus dihindari.

Sosok di penghujung lantas mengucap dengan suara menggema. "Kamu, pemuda yang keberadaannya diserap oleh Qarin miliknya sendiri. Aku bisa mencium residu dari energi [kotak]."

[kotak] ini, [kotak] itu. Lama-lama aku merasa muak. Mungkin benar benda itu yang membuatku menjadi seperti ini. Persetan dengan semuanya, aku hanya ingin kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa.

Makhluk itu tak memerintahkan bawahannya untuk melukaiku. Dia malah berniat untuk membuka dialog dengan tema yang tak bisa kumengerti.

Maka, didorong sedikit keberanian, aku pun mengajukan pertanyaan. "Maksudnya apa?" Sulit rasanya untuk menyembunyikan suara yang bergetar.

"Kamu sungguh berpikir kamu adalah dirimu yang asli?"

Alisku mengerut, berusaha mencerna ucapannya barusan. "Maksudnya?"

Makhluk itu membuka penjelasan panjang lebar. "Manusia itu unik. Mereka memiliki raga kasar, roh dan jiwa, serta jin pendamping bernama Qarin."

"Qarin?" Otakku berputar cepat menganalisis.

Aku pernah dengar soal itu. Qarin hidup dan lahir sebagai entitas terpisah dari manusia. Semacam partner tak kasat mata. Apa yang mereka lihat, mereka dengar, juga mereka rasakan—termasuk seluruh penderitaan—merupakan satu kesatuan dengan manusia. Mereka berbagi seluruh indera persepsi terhadap dunia.

Orang lain mungkin biasa menyebutnya dopplegangger. Kudengar Qarin sering kali mengira dirinya merupakan seorang manusia. Itu sebabnya mereka mendatangi kerabat dan keluarga selepas partner mereka pergi meninggalkan dunia fana. Mereka juga sering menampakkan diri sebagai arwah di lokasi kecelakaan. Hantu yang bergentayangan itu tak lebih dari kembaran gaib orang yang sudah meninggal.

"Kamu menginginkan sesuatu ketika menggunakan [kotak]. Benda sakral itu mengabulkannya. Dia menarik Qarin dari manusia bernama Dian menuju alam kasar. Ini pertama kalinya ada Qarin yang bertukar posisi dengan inang manusia. Kamu cukup unik untuk menjadi koleksiku."

Aku tak suka arah pembicaraan ini. Apa dia bermaksud mengatakan, bahwa aku—Dian dengan jenis kelamin perempuan—merupakan entitas palsu? Bahwasannya keberadaanku tak lebih dari sekadar salinan, dan seluruh kehidupanku merupakan kebohongan?

Omong kosong!

Aku berang, tanpa ragu kutunjukkan ekspresi permusuhan. "Bicara apa kamu ini? Koleksi? Maksudnya apa? Aku bukan benda yang bisa kamu ambil seenaknya!" Nada bicaraku terdengar meninggi. Rasa kesal membuatku memiliki nyali.

Mendadak saja aku teringat Siska. Gadis itu mungkin sudah letih diperkosa. Apa itu kegunaan dari 'koleksi'? Sebagai pemuas hasrat dan nafsu berahi? Brengsek sekali makhluk ini, lebih bejat dari diriku di masa lampau sebagai seorang lelaki.

Makhluk raksasa itu tak terpancing oleh amarahku. Dia masih menjawab dengan seluruh ketenangannya. "Memang benar, aku tak bisa mengambilmu seenaknya. Aku—dengan segala kepicikan bangsa kami—sebenarnya sangat menghargai sebuah perjanjian. Aku menjadikan hubungan sebab akibat sebagai dasar sebuah ideologi. Aku tak memiliki alasan untuk mencelakaimu. Berbeda dengan dua orang itu." Perhatiannya tertuju sejenak pada Len dan Maria. Keduanya terbaring letih saling berdampingan. "Kamu tak melakukan apa pun yang membuatku marah atau terganggu."

Masuk akal, begitu pikirku. Itu menjelaskan kenapa jiwa Siska bisa ditahan. Gadis itu terlalu nekat untuk menantangnya bertarung dalam wujud astral. Dia terlalu putus asa, berusaha merebut [kotak] dari raja jin ini. Siska hanya ingin menolongku untuk kembali menjadi seorang lelaki.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang