Extra Story : Maria dan [Kotak] - [6]

177 2 0
                                    

Menurutku, tiada lagi waktu tersisa bagi kami untuk beristirahat.

Semakin lama aku terjebak di sini, semakin berisiko ke depannya. Maksudku, saat ini aku tidak memiliki perbekalan air bersih, atau persediaan apa pun untuk dimakan.

Lapar dan haus lambat laun akan menggerogoti semangat untuk bertahan hidup. Semakin lama aku menunda usaha pelarian, maka kemungkinan untuk selamat akan kian menipis.

Maka sesegera mungkin aku bangkit, lalu berjalan-jalan menyusuri sekitar.

Sesuatu, apa pun itu. Pasti ada semacam petunjuk yang bisa kugunakan untuk membawaku keluar dari sini.

Benar saja, di salah satu sudut tribun, agak tersembunyi di dekat tembok yang dikuasai oleh sulur akar, pandanganku menangkap sesuatu.

"Kang Riu," ucapku memanggil.

Riuja berusaha bangun, mengabaikan keengganan setelah nyaman dalam tidur. Pemuda itu menurut untuk datang menghampiri.

Sorot pandangku ke arah tembok seakan berfungsi sebagai pengganti tangan yang menunjuk.

Mata Riuja melihat sesuatu dari balik bebatuan.

Aku bisa melihat seluruh semangat pria itu untuk bertahan hidup mendadak lenyap tak bersisa.

Di sana ada sebuah tengkorak.

Sisa pakaiannya terlihat seperti penjelajah abad sembilan belas. Posisi jasad itu masih utuh tanpa luka.

Itu berarti dia meninggal karena kelaparan.

"Orang ini sama-sama terjebak seperti kita," ucapku lirih.

Embusan panjang Riuja keluarkan. Dia seakan kehilangan semangat yang sempat menggebu-gebu beberapa saat lalu.

Sulit rasanya untuk terus berusaha menjaga ketenangan. Jantungku berdebar kencang menahan kecewa bercampur kesal. Bagaimana tidak? Kami bukan yang pertama terjebak di sini. Hasil akhirnya jelas. Tengkorak ini seakan menjadi contoh akan masa depan yang menantiku.

Akan tetapi, dikuasai panik adalah hal yang paling tidak kuinginkan. Orang yang pesimis saat ini mungkin akan hilang kewarasan. Oleh karenanya, penting bagi seseorang agar tetap tegar seraya tetap mengharap sebuah keajaiban.

Tak ada gunanya bermuram durja. Lenganku lantas menggeledah tengkorak itu. Di sana pasti ada semacam petunjuk lain yang bisa kugunakan.

Buku catatan.

"Sepertinya penjelajah Inggris." Tentu saja, aku berkesimpulan begitu setelah membaca isinya yang ditulis dalam bahasa Inggris.

"Apa isinya?" Riuja tak begitu memahami bahasa asing.

"Dia bagian dari ekspedisi yang digalang pada tahun 1815." Jadi goa di bawah sini bukanlah bagian dari Gua Belanda. "Penjelajah malang ini sama seperti kita, terjebak masuk ke dalam labirin akibat sink hole."

"Persis seperti kita?" Riuja membeo.

Sempat aku tertegun membaca kelanjutannya, "Dia dan dua puluh rekannya dibantai satu per satu oleh—"

"A monster..."

Seseorang mengucap tepat di sampingku. Seketika aku terperanjat mundur, sementara Riuja bersiaga memasang kuda-kuda seorang pesilat. Dia juga sepertinya bisa melihat sosok itu.

Sesosok makhluk gaib berbadan tegap berdiri di hadapanku. Kumis klimis pria itu mengingatkanku pada bangsawan Kerajaan Britain pada dahulu kala.

Sebagai jin Qarin—pendamping manusia semasa hidup—dari tengkorak ini, dia pasti memiliki informasi akan tempat ini.

"We are team consist of 20 peoples. Our men was slaughtered mercilessly by those monster. I'm the sole survivor amongs those havoc." Dia mengucap lewat komunikasi batin. Sepertinya Riuja tidak bisa mendengarnya.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang