"Kamu ingin ke rumah Siska? Sekarang?" Rendi membeo pada perintahku tadi.
Kujawab keraguan itu dengan sebuah anggukan kepala. "Rumahnya di daerah Cikao, tak jauh dari Danau Jatiluhur. Dia memang tinggal di pedesaan."
Pemuda itu hanya melongo.
Aku nyaris tertawa melihat ekspresi di wajah Rendi. Seakan seluruh kerutan di alis itu mencecar sejuta pertanyaan, seperti; bagaimana? Naik apa? Yakin Siska ada di sana? Pulangnya bagaimana? Dan lain-lain.
"Tenang saja, kamu cukup menyeludupkanku keluar dari sini. Selebihnya aku berangkat sendiri."
Rendi tentu tak puas dengan keinginanku itu. Ia membuka mulut hendak memprotes. "Tapi—,"
Kubentak saja pemuda itu. "Rendi!"
Secara ajaib dia mendadak diam menunjukkan kepatuhan, persis seperti hewan peliharaan.
"Good boy," ucapku memuji. Berikutnya, kusambar kantong bening berisi cairan NACL—infuset lengkap berupa selang menuju jarum yang menancap pada lengan—di tiang kecil.
Lewat isyarat kecil, Rendi bersedia mengikuti langkahku untuk keluar dari kamar. Kami sempat berpapasan dengan suster, yang tentu saja berakhir dengan penghadangan.
Akan tetapi suster itu manut saja, mengerti setelah diberi sedikit alasan, "Aku mau cari angin sebentar, bosan di kamar terus. Ini ada Rendi yang menjagaku."
Perawat itu berlalu, mungkin dia memiliki pertimbangan tersendiri setelah melihat kondisiku yang sanggup berjalan tanpa kesulitan.
Tiba di taman terluar, aku lantas mengumpulkan keberanian untuk berlari. Tak lupa kucabut selang infus yang menempel di lengan. Cairan kental berwarna merah tentu menyembur sedetik kemudian. Bukan masalah karena aku sudah menyiapkan kain pembebat untuk meredakan pendarahan.
Aku juga tak mempedulikan Rendi yang menatap gundah di kejauhan. Wajahnya memelas seraya aku berbelok di pintu keluar. Keberadaannya seakan lenyap disapu tembok.
Cahaya purnama hilang tertutup awan. Bayang malam terasa makin pekat di tiap sudut tanpa lampu penerangan. Alam seakan memberi restu hingga memudahkan pelarianku. Tempat ini lumayan sepi. Pos security tampak lengang tak berpenghuni, itu sebabnya aku bisa leluasa keluar dari sini.
Sebuah lambaian kecil cukup untuk menghentikan laju angkot bercat merah-biru. Agak trauma sebenarnya aku menaiki kendaraan ini. Tapi mau bagaimana lagi? Kakiku tak cukup kuat untuk berjalan menuju pangkalan ojek terdekat.
Angkot itu hanya mengantarku sampai di daerah Bunder, lokasi dekat sekolahku berada.
Di jam segini, tak ada kendaraan umum menuju menuju desa tempat Siska berada. Mereka berhenti beroperasional selepas adzan magrib. Pilihanku satu-satunya hanyalah mengeluarkan uang lebih untuk dibonceng motor.
Abang ojek sempat menyangsikan penampilanku yang kusut berhiaskan plester dan perban. Lewat pengamatan sekilas pun, orang bisa tahu kalau aku kabur dari rumah sakit.
Untungnya dia mau mengerti, terlebih setelah kusodorkan selembar uang berwarna biru.
Rambutku berkibar seraya motor melesat cepat membelah angin malam. Butuh waktu setengah jam menyusuri jalan pedesaan hingga akhirnya aku tiba di depan rumah Siska. Bangunan berwarna hijau itu terlihat mencolok. Aku tak sedikit pun menemui kesulitan untuk mencarinya.
Abang ojek yang mengantarku lantas pamit untuk pergi.
Sedikit pun belum terlintas di benakku akan bagaimana cara untuk kembali. Langkahku sudah mengantar sejauh ini. Aku tak bisa mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Ficção AdolescenteFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.