"Saya aslinya dua orang, pak." Aku mengucap dengan wajah serius.
Ayah dan ibuku mengerutkan alis. Sejenak mereka saling melayangkan pandang. Bingung tergambar jelas dari ekspresi keduanya. Aku dan Dian duduk saling berdampingan sementara posisi orang tuaku berada di seberang meja tamu.
Pagi tadi pihak Kemensup mengantar Dian pulang ke rumah. Awalnya ibuku langsung menjerit-jerit girang, mengira anaknya telah kembali berubah kelamin menjadi perempuan.
Namun ekspresi di wajah mama langsung membeku tatkala menyadari keberadaanku yang turun dari kamar lantai dua.
Bengong di wajah ayah dan ibuku terlihat lucu sekali. Mereka baru sadar, anak semata wayang ini sekarang ada dua, seakan membelah seperti seekor amoeba.
Oh iya, bagaimana aku bisa tahu Dian sudah pulang?
Tentu saja, karena aku bisa mengendalikan dia seperti aku menggerakkan tubuhku sendiri. Segala sesuatu yang ia dengar, lihat, dan rasakan, semuanya masuk ke dalam kepalaku. Aku bisa memosisikan diriku sebagai Ardi dan Dian di saat bersamaan.
Sebagai Dian, aku harus menahan bagaimana pegalnya punggung karena harus menopang dua lemak tak berguna di dada. Jadi perempuan itu melelahkan.
Berbanding terbalik dengan tubuh Ardi. Sebagai lelaki, aku merasa sangat energetik karena penuh dengan hormon testosteron.
Ibuku kemudian berbalik seraya menggenggam tangan Dian. Dia mengacuhkanku yang masih menjejaki anak tangga. "Kamu yang sebulan terakhir tinggal di sini, kan?"
Seketika aku terkekeh, menjawab pertanyaan itu dari arah tangga. "Hari pertama ayah mengajariku bahaya menjadi perempuan dengan membiarkanku nyaris diperkosa preman nakal."
Ayahku bereaksi dengan mengukir senyum kering. Ia menggaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal.
"Lalu mama bersikeras menyuruhku untuk mengenakan Bra dan pakaian lucu seperti rok dan baju berenda."
Aku menyaksikan Ardi mengucap ragam kejadian itu secara runut dan detail.
Semakin lama aku mulai terbiasa mengendalikan dua tubuh ini secara terpisah. Aku bahkan kian mahir membedakan isi benak dan jalan pikiran hingga bisa berdiri sendiri.
Dua lututku beradu rapat dengan lengan terbaring rapi bak seorang putri bangsawan. Sementara itu diriku yang satu lagi sibuk mengoceh, menerawang seluruh ingatan.
"Sudah, sudah, aku lapar, Ma," ucapku seraya meraih segelas air mineral. Suaraku memiliki pitch tinggi, jelas kontras dengan bagaimana Ardian berucap.
Rendi sedari tadi hanya memerhatikan dari daun pintu, ia berdiri kikuk tak tahu bagaimana harus memosisikan diri di situasi ini.
"Aku kangen nasgor buatanmu, Ren," tukasku memandang pria itu. Senyum kecil kuukir di wajah, tanda ketulusan hati meminta makanan.
Ih, beneran lho. Rasanya memang lapar sekali. Aku tak bohong.
Di sisi lain, aku merasa keberadaan pria berpenampilan menarik itu lumayan mengganggu. Maka aku yang laki-laki mengangkatkan kaki naik ke lantai dua, lalu menutup pintu— mengurung diri di ruanganku sendiri.
"Ummm, bu Riska, saya izin menyiapkan makanan." Rendi melangkah pergi dari ruang tamu. Perawakannya yang gagah itu lenyap setelah berbelok ke kanan memasuki lorong menuju dapur.
"Eh iya ya, ibu baru sadar. Dian sekarang tidur di mana?" Ibuku melipat tangan seraya memegangi pipinya.
"Ardi sekamar dulu saja sama Rendi di lantai dua." Ayahku dengan cepat memutuskan.
Sebagai Ardi, aku tak terima diriku terusir dari markas pribadi. Maka seketika aku mendobrak pintu di lantai dua, lalu menyatakan keberatan setelah tergesa-gesa menuruni tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.