Dering suara telepon genggam membangunkanku di hari yang cerah. Dipenuhi rasa malas aku memeriksa. Di sana terdapat panggilan dari Siska.
Lenganku enggan mengusap layar untuk menjawabnya. Kenapa dia baru menghubungiku sekarang?
"Ya, halo," ucapku tanpa intonasi.
"Dian? Kamu sudah baikan? Sudah sarapan? Kenapa pesanku tidak dibalas-balas?"
Sejenak aku menjauhkan handphone itu dari telinga. Semua ucapan itu hanya berisi pertanyaan konyol sok perhatian.
Kenapa? Padahal selama ini dia tak peduli. Batinku memutar kembali imaji mesra antara Lenka dan Siska. Hebat sekali dia bisa menelepon riang seperti ini setelah mengkhianatiku dari belakang. Semalam ia bahkan mengirim sms untuk mengajakku pergi berkencan.
Well..., semuanya sudah terlambat. Urus saja mantan pacarmu itu. Fokuslah pada proses CLBK-mu.
Maka respons dingin kuberikan sebagai jawaban. "Iya, aku tak apa-apa. Terima kasih."
Terdapat semacam jeda hingga akhirnya Siska tersadar bahwa ada sesuatu yang salah. "Kamu sungguh baik-baik saja?"
"Ya."
"Kamu marah padaku?"
"Pikir sendiri," jawabku kesal. "Maaf, aku ada keperluan sebentar."
"Lho, Dian? Tunggu dul—."
Kusudahi saja sambungan itu. Tak lupa kumatikan juga teleponnya agar Siska tak lagi mengganggu. Sekarang adalah hari Sabtu. Aku ingin menikmati libur sekolah dengan bermalas-malasan, atau membuang waktu lewat bermain game.
Telingaku mendengar suara ketukan.
Orang tuaku tak pernah tahu sopan santun paling dasar seperti mengetok pintu. Persetan dengan privasi. Mereka selalu menerobos masuk. Jadi, sosok di balik sana pastilah Rendi.
"Ya, masuk," ucapku memberi izin. Kondisiku sekarang tentu sudah lengkap berpakaian. Aku juga sudah mengenakan pakaian imut, lengkap dengan semprotan parfum dan polesan make up ala kadarnya.
Pemuda itu masuk dengan dua piring nasi goreng di tangan. "Tumben sudah rapi? Kamu keliatan cantik, Mau ke mana?"
Rendi ini cukup perhatian juga ya. Dia menyadari perbedaan di wajahku selepas merias diri. Agak kesusahan aku menahan bibir yang memaksa untuk melengkung. Tanpa sadar lenganku memilin-milin ujung rambut, merasa kikuk atas lontaran pujian.
"Ini aku bikin nasi goreng kebanyakan, cukup buat berdua. Barangkali Bang Dian lapar belum sarapan."
Kenapa sih, dia harus menambahkan kata 'abang'? Dia masih memandangku sebagai seorang pria?
Kuberikan sorot mata tak sedap padanya.
"Ah iya, maaf aku manggil lagi abang."
Dia tahu letak kesalahannya, syukurlah.
Perutku tiba-tiba saja mengeluarkan suara. Meraung kencang setelah sedetik kusadari keberadaan nasi goreng di tangan Rendi.
Pemuda itu tentu saja terkesiap hingga hilang kata-kata.
Sambil menahan rasa malu aku menundukkan kepala. Rambut depanku tergerai jatuh hingga menutupi wajah. "Umh..., terima kasih buat nasi gorengnya."
Untungnya, dia cukup lihai mencairkan kecanggungan. "Eh, itu PS3? Ada gim Assassin Creed, nggak? Aku pengen main dong, kangen nih."
"Wuee?" Rendi ternyata gamer. "Ada dong, aku ngoleksi semua game itu. Dari yang kedua sampai yang Brotherhood."
"Bohong!" seru Rendi tak percaya. Matanya terlihat berbinar-binar. "Aku pengen dong main yang Brotherhood itu, kemarin baru namatin yang kedua. Ini ceritanya masih seputar si Ezio Audi— apalah itu namanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Fiksi RemajaFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.