"Apa maksudmu?" ucapku menahan kesal.
Lenka menggelengkan kepalanya. "Meski kamu ikut, kamu tak bisa berbuat apa pun. Ini ada di luar ranah alam fisik. Orang biasa tak akan pernah sanggup memahami kerumitan dunia astral."
Perhatianku lantas beralih pada Maria, menuntut sebuah penjelasan.
"Kami percaya jiwa Siska ditahan oleh jin—makhluk halus yang menjaga [kotak] hingga mengutukmu menjadi perempuan—penunggu hutan di sana," jawab Maria.
Mendadak aku teringat pada imaji acak sore hari tadi. Kukira itu tak lebih dari mimpi, rupanya memang benar-benar terjadi.
Benakku merekonstruksi kembali kengerian di wajah Siska. Gadis itu telentang tak berdaya, hendak digauli oleh makhluk besar berbulu dengan wujud buruk rupa. Hatiku menjadi semakin tak tenang. Keringat dingin mengucur dari pelipis. "Kita harus menyelamatkan Siska, sekarang!"
"Kami memang berencana untuk itu," potong Lenka.
"Lantas kenapa wajah kalian terlihat begitu ragu?" sambungku menyelidik. Dua orang itu meraut wajah tegang seperti orang yang sedang tertekan.
Maria membuka mulutnya sejenak, hendak menerangkan. "Aku yakin penculik Siska berasal dari kasta Al-Ifrit, golongan jin terdahulu yang mendurhakai firman Tuhan dan sudah hidup jauh sebelum keberadaan umat manusia. Tabiat mereka amat buruk, hingga sering disebut sebagai setan sesungguhnya."
"Makhluk sejenis itu memiliki pengetahuan yang sangat luas, menguasai berbagai macam keilmuan, serta sanggup mengubah bentuk sesuka hati." Lenka menyahut menyambung penjelasan. Kulihat lengannya mengepal erat tanda menahan emosi. "Mereka bukan jin biasa. Aku sendiri ragu bisa menghadapi mereka. Kemungkinan kecil untuk bisa selamat."
Tanpa sadar aku menelan ludah, paham akan bahayanya yang mengancam, "Terus sekarang bagaimana? Kenapa kamu berubah gentar? Apa kalian menyerah begitu saja? Membiarkan Siska sekarat seperti ini."
"Te-tentu saja tidak!" kilah Maria. "Kamu mungkin tak paham, tapi ini terasa seperti hendak pergi ke medan perang."
"Maria," potong Lenka. "Benar kata Dian. Kita pergi sekarang, sudah terlalu banyak waktu yang terbuang."
"Aku ikut." Tanpa sengaja aku menarik kerah lengan Lenka.
Langkah pria itu terhenti. Sorot matanya seperti biasa begitu dingin menusuk, "Apa yang bisa dilakukan orang awam sepertimu melawan mereka?"
"AKU punya urusan sendiri yang harus diselesaikan." Tentu saja, aku tak mau menghabiskan sisa hidupku sebagai seorang perempuan. Aku tak lagi memiliki alasan untuk itu. Lagipula, jika aku ingin menjalin hubungan serius dengan Siska, tentu genderku tak boleh sejenis dengan dia. "Kamu dulu pernah bilang, akan membantuku untuk mengembalikan kondisiku seperti semula. Ke mana janjimu itu, hah? Jangan bilang kamu tipe lelaki yang tak bisa memegang ucapan."
Lenka mungkin tertohok oleh perkataanku. Dia tak sedikit pun melakukan pembalasan selain mengalihkan pandangan seraya mendecapkan lidah. "Harus kuakui, Siska memang berulang kali memohon padaku untuk menolongmu." Sejenak tadi aku bersumpah melihat lengannya erat terkepal. "Andai saja aku lebih cepat merespon permintaannya itu."
Ucapan Lenka terhenti. Aku tahu dia sedang menyalahkan diri sendiri.
Maria menggenggam kepalan tangan Lenka dengan lembut. "Sudah, tak usah dipikirkan. Mungkin semua ini memang sudah digariskan oleh Sang Pencipta."
Kami bertiga kemudian bergegas keluar dari sana. Sejenak mataku menatap lekat raga fisik Siska yang terbujur kaku di atas kasur. Matanya terpejam damai bak seorang putri tidur.
Tunggu aku, Siska. Aku pasti akan menyelamatkanmu.
....
Mesin mobil sedan terdengar meraung memecah malam. Lenka memutar setir seraya berbelok keluar dari pelataran rumah.
Kami berpapasan dengan kendaraan lain yang baru saja tiba. Di dalamnya terdapat Pak Diki, pria paruh baya yang merupakan kepala sekolah, sekaligus ayah dari Siska dan Maria. "Mariii? Kamu mau membawa Siska ke rumah sakit sekarang, Nak?"
"Belum waktunya pak. Percaya sama Marii, Siska akan bangun besok harinya. Kita mau ikhtiar dulu, Pak." Maria menjawab seraya menarik tepian bibir. Rasanya aneh melihat gadis dengan wajah Siska mengukir senyum riang.
Demi Tuhan, suara mereka bahkan mirip satu sama lain.
Lenka di samping Maria juga mencipta kebohongan lainnya. "Kita mau konsul dengan dokter juga."
"Cepat ya, Nak. Bapak khawatir dengan kondisi Siska," balas Pak Diki.
Aku hanya melongo kebingungan. "Kok Pak Diki bisa nurut begitu saja sama kalian? Dia belum tahu kondisi Siska?"
Maria menggeleng tanpa menolehkan wajahnya. Ekpresi di sana kembali seperti sedia kala, suram dipenuhi kekhawatiran. "Keluarga kami hanyalah manusia biasa. Yang mereka tahu, Siska mengalami penurunan kesadaran. Meski dia dibawa ke ruang ICU, dibantu alat penopang kehidupan, Siska akan tetap berada dalam kondisi Koma sebelum jiwanya kembali ke sana."
Hmm.., jadi itu penjelasan tentang kasus koma dalam waktu lama.
"Lagi pula, orang-orang seperti kami harus menyembunyikan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan makhluk astral. Kalau tidak, bisa kena tegur langsung dari Kemensup."
Hah? Kemensup? Instansi tempat Om Yayan?
"Kementerian Metafisika dan Supranatural," jawab Lenka. Matanya masih fokus memerhatikan jalanan berlubang tanpa lampu penerangan.
Agak terpana aku mendengarnya. Tak pernah kusangka Indonesia memiliki kementerian khusus untuk menangani perkara gaib seperti ini. Jadi Om Yayan adalah orang penting di institusi itu, dan Lenka adalah salah satu pegawainya?
Singkat kata, para dukun dan praktisi supranatural ternyata bisa dipekerjakan sebagai PNS.
"Aku tak berbohong ketika mengucap hendak membantumu. Aku hanya butuh waktu lebih banyak untuk persiapan," ucap Lenka. "Itu karena Jin yang hendak kita hadapi bukanlah lawan sembarangan."
"Bantuan dari Kemensup belum kunjung datang?" tanya Maria.
Lenka mengangguk kecil. "Sekarang aku harus melawan mereka dengan kondisi seadanya." Terdapat sedikit keraguan di wajahnya.
Maria mengusap jemari Lenka yang bertumpu pada persneling. "Hey, kamu memilikiku. Aku tak akan pernah meninggalkanmu, kita akan menghadapinya bersama-sama."
Berada di tengah kemesraan itu, entah kenapa membuat hatiku ikut merasakan kedamaian. Tanpa kusadari bibirku mengukir senyum seraya bertopang dagu pada dashboard di samping pintu.
"Eh, tunggu dulu," ucapku bingung.
Maria menoleh ke arahku, sementara Lenka mengintip dari spion tengah.
"Jika jiwa Siska bisa ditawan karena melakukan meraga sukma—proses berkelana menggunakan raga halus, sementara badan kasar tertidur di atas kasur—lantas kenapa kita bertiga sekarang harus berjalan kaki secara fisik mendatangi tempat angker itu? Tidak bisakah kalian mendatangi alam gaib dengan cara yang sama dengan apa yang Siska lakukan?"
"Meraga sukma tidak ideal untuk melakukan konfrontasi," jawab Maria. "Tanpa raga kasar, kemampuan kami selaku praktisi supranatural akan berkurang lebih dari setengahnya."
"Lho, terus kenapa Siska malah menantang Si Raja Jin lewat meraga sukma?" Aku masih belum mengerti. Jika ini sebuah novel, tentu ini adalah sebuah plot hole.
"Karena dia bodoh," jawab Lenka singkat.
"Siska tidak mendalami ilmu-ilmu kebatinan seperti kami berdua," tambah Maria. "Pengetahuan dia belum terlalu luas untuk bisa disebut seorang praktisi supranatural."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.