Bab XXXIV : Marabahaya

197 12 3
                                    

Sekilas aku bisa melihat aliran energi yang dikendalikan Len dan Maria. Sekujur tubuh mereka seperti ditutupi selubung aura kebiruan. Mendadak saja aku teringat akan kemampuan bernama 'Nen' di komik 'Hunter x Hunter'. Kekuatan semacam itu ternyata ada! Sungguh sulit untuk dipercaya. Mulutku gagal mengatup sebab memikirkannya.

Sayangnya, semua hal keren ini tak akan bisa dilihat oleh mata orang biasa. Inderaku—penglihatan mata yang dipertajam oleh Lenka—sanggup menangkap bagaimana Maria menggunakan energi di sekelilingnya. Gadis itu menciptakan semacam lapisan pelindung. Bentuknya seperti cangkang telur, menyelubungi ruang udara dalam lingkup area sekitar tiga meter.

Beberapa musuh sanggup bebas terbang berkeliaran. Wujud yang berupa kain gelap menjuntai sekilas mengingatkanku pada karakter fiksi bernama Dementor. Orang lain mungkin berpendapat penampilannya mirip malaikat pencabut nyawa.

Kulihat bayang gelap itu meluncur cepat membelah udara. Ukurannya semakin membesar seiring mendekatnya posisi mereka. Lenganku secara refleks diposisikan menyilang, tak sanggup untuk menghindar, atau bahkan menghadapi serangan. Mataku terpejam, mengira diriku hendak celaka.

Tetapi semua itu tak terbukti. Pergerakan sang 'kain' terbang berhasil dihentikan nyaris tanpa cela. Makhluk itu meringis kesakitan tatkala tubuh ringan berisi tulang belulangnya secara epik menabrak dinding kokoh tak kasat mata. Perisai di sekeliling ternyata berfungsi untuk menangkal berbagai serangan.

Mataku menatap kagum pada Len dan Maria. Sepasang kekasih itu mempertontonkan kehebatan mereka sebagai praktisi ilmu supranatural.

Lenka memosisikan lengannya dalam kuda-kuda seorang pesilat. Pria itu mengayunkan pukulan dan tendangan meski musuhnya jauh berada di luar jangkauan.

Memangnya bisa kena? Begitu pikirku.

Perkiraanku salah. Tiap ayunan dari Lenka ternyata mengirim energi dahsyat, terbang melesat menyapu makhluk astral yang mengganggu.

Pandanganku menyipit, memperhatikan bagaimana posisi jin yang terempas kini kembali diisi oleh entitas lainnya. Pasukan gaib ini sepertinya ada dalam satu komando. Mereka membentuk barikade pagar betis, rapat mengelilingi dari segala sisi, tak memberikan celah untuk melarikan diri.

Lenka mendecapkan lidah. "Kita terpojok, mereka kembali memanggil bala bantuan."

Aku menoleh seraya kebingungan. "Bala bantuan?" Gaya bicaranya itu seolah kami sedang berada di medan pertempuran saja.

Kemudian aku teringat ucapan Maria. Gadis itu terang-terangan menyebut situasi yang hendak kami hadapi sebagai medan perang. Mungkin ini maksud sebenarnya. Sungguh, betapa dangkal pemikiranku di kala itu.

Memang tak dapat dipungkiri, jumlah sosok astral di sini terasa semakin meningkat di tiap detiknya.

"Sekarang apa?" ucapku menuntut jalan keluar. Jelas sudah kami tak bisa pergi ke mana-mana. Jangankan menyelamatkan Siska, aku bahkan ragu bisa keluar dari sini.

Dua orang itu menjawab dengan kebisuan. Mereka masih memutar otak mencari jalan keluar.

Lambat laun telingaku menangkap sebuah ucapan dengan suara parau. Siluet raksasa juga terlihat dari balik pepohonan.

"Sudah kubilang, kalian tak akan pernah bisa melawanku. [kotak] itu milikku. Menyesallah karena telah berani menampakkan diri di tempat ini."

Mendengarnya saja membuat darah di jantungku terasa berdesir. Hatiku berubah kesal bercampur marah. Kemunculan makhluk berukuran besar itu terasa tak asing lagi.

Ya, tak salah lagi. Dia yang muncul di kilas balik mimpi sore hari tadi.

Sosok genderuwo dipenuhi bulu—itu impresi pertama dariku—menutupi sekujur tubuh seperti jaket tebal. Tiap helainya terlihat gempal seperti rumput kaku. Tinggi badannya bahkan setara dengan pohon di sekitar. Ukurannya yang besar seakan mengerdilkan makhluk-makhluk lain di sekeliling. Mengerikan! Aku merasa seperti berhadapan dengan seekor dinosaurus.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang