Bab XXXVIII : Kemensup

281 13 0
                                    

Wajah Rendi terlihat letih, menyiratkan lelah berkepanjangan. Entah apa yang terjadi padanya setelah membantu kukabur dari tempat ini. Di belakang pemuda itu, aku bisa melihat wajah penuh kekhawatiran dari kedua orang tuaku.

Aku sempat menahan tawa kala melihat Rendi melengos begitu saja duduk di sampingku. Pemuda itu terlihat tak acuh padaku. Pandangannya lurus menatap pintu dari ruang tindakan. Dia mungkin mengira aku ada di sana. Kalau saja ibuku tidak memanggil nama Dian, tentu dia tak akan sadar siapa pemuda di sampingnya ini.

"Hah? Bang Dian?" ucapnya tak percaya, kaget luar biasa.

"Telat, bego," gerutuku dalam hati.Aku bahkan terlampau malas untuk mengukir ekspresi. "Salam kenal," ucapku agak sarkastik.

"A—aku gak tahu," jawabnya kikuk. "Maaf, habisnya baru sekarang lagi aku lihat Bang Dian berjenis kelamin laki-laki."

Bisa dipahami, awal pertemuan kami memang ketika aku hidup sebagai perempuan. Meski dia tahu aku ini laki-laki, tapi aku bisa merasakan ada semacam bentuk kecanggungan. Mulutnya bahkan terkunci rapat, diam membisu meski duduk lama di sisiku.

Orang-orang tentu bertanya tentang bagaimana aku bisa kembali berganti jenis kelamin. Bahkan ada yang bilang aku ini seperti kuda laut. Satu-satunya respon yang kuberikan hanyalah menggeleng bingung dengan kedua bahu yang terangkat.

Mereka belum tahu ada Dian satu lagi di dalam ruang UGD.

Sumpah— aku benar-benar tak tahu. Aku juga belum paham kenapa bisa ada di tengah hutan bersama Len dan Maria. Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Sulit untuk menjawab semuanya dengan ingatan samar seperti ini. Aku seperti baru bangun dari mimpi.

Belum reda badai pertanyaan dari orang di sekitar, pandanganku kini tertuju pada kemunculan Siska di pintu depan UGD. Di belakangnya hadir Pak Diki, lengkap dengan anggota keluarga yang lain.

Seketika itu aku teringat sesuatu. Motif utama seluruh perjuanganku di tengah hutan itu, adalah demi mengembalikan Siska dari tawanan makhluk halus. Dia sekarang ada di sini, berdiri dengan dua kaki.

"Siska!" Aku setengah berseru.

Gadis itu tentu saja menunjukkan keterkejutan luar biasa. "Ardian?!"

Aku tak peduli meski di sini ada polisi, lengkap dengan dua orang tuaku dan ayahnya Siska. Aku tak bisa menghentikan langkah kaki untuk datang menghampiri dia. Lenganku bahkan seperti bergerak sendiri, menggapai gadis itu untuk mendekapnya sepenuh hati. Dadaku terasa sesak dipenuhi emosi yang meluap.

Mulutku menciptakan suara sendu seraya mengucap, "kamu sudah kembali."

Gadis itu meresponnya dengan sebuah kebisuan. Dia seperti tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Butuh waktu agak lama hingga jemari Siska balas memelukku.

Semua orang terkesiap, tak ada yang berkomentar atas adegan lebay bak film romansa ini.

Pak Diki berdehem, menciptakan suara batuk yang dibuat-buat. Itu sudah cukup untuk membuatku kikuk. Kami berdua langsung melepaskan diri dengan cepat.

Kuedarkan pandangan pada sekeliling ruangan. Orang-orang di sini seperti menahan sejuta rasa penasaran di benak masing-masing. Mereka semua menatapku, mencari saat tepat untuk melancarkan interogasi, memuaskan rasa penasaran akan kejadian yang sesungguhnya.

Ini membingungkan. Karena, satu, aku sendiri punya segudang pertanyaan untuk dijawab. Dua, bagaimana aku menjelaskannya?

Tentu aku tak bisa menceritakan semuanya, terlebih tentang orang-orang seperti Lenka dan Maria. Mereka pernah menekankan padaku bahwa organisasi Kemensup—tempat keduanya bekerja—merupakan institusi negara yang bersifat rahasia. Aku tak ingin terkena masalah apabila tak sengaja membocorkannya.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang