Bab XXIX : Tekad

285 14 1
                                    


Pintu ruangan tertutup rapat, kini hanya ada aku dan Rendi. Pemuda itu duduk di kursi sofa dengan wajah agak tertunduk. Kulihat matanya mengerling, mengalihkan perhatian ketika pandangan kami beradu, seakan menyembunyikan sebuah kegundahan.

"Kalian serius pacaran?" ucapku memecah kesunyian.

Rendi menganggukkan wajah perlahan. Wajahnya seakan balik bertanya kenapa aku masih bertanya demikian.

"Aku kenal Cindy luar dalam," lanjutku meracau. Sifat asli Cindy amatlah mesum. Aku yakin dia menggoda Rendi dengan cara nakal. "Apa saja yang sudah kamu lakukan padanya?"

Tenggorokan Rendi serasa tercekat, buru-buru ia menampik tuduhan. "Bukan aku! Cindy yang memulai—" Ucapan itu terhenti, disumpal oleh punggung lengannya sendiri.

"Oh, sudah mengakrabkan diri dengan kenikmatan seks? Selamat ya," ucapku dingin, menghakimi. Mendadak saja aku teringat akan kepribadianku yang lama.

Rendi masih berusaha membela diri. "Dia melakukan beragam macam hal aneh. Aku tak bisa menolaknya."

Sudah kuduga. "Biar kutebak, pertama kali kalian bercinta itu di tengah sempitnya rak buku ruang perpustakaan?" Persis seperti kegiatan rutin aku dan Cindy, tentu saja. Bagaimanapun juga, aku yang mengenalkan gadis itu pada jurang kenistaan, hingga berakhir sebagai gadis binal haus akan nikmat seksual.

Di lain pihak, kulihat air muka Rendi hilang ketenangan. Ucapanku sepertinya tepat sasaran.

Pemuda itu berlanjut pada semacam pengakuan dosa. "Hari pertama kami berpacaran, kelakuan kami sedikit kebablasan. Aku sampai—," Ucapannya terhenti, muncul keraguan untuk meneruskan cerita. "Bagaimana ya?"

Wajahku mungkin terlihat agak miring, penasaran dengan kelanjutan ucapan, "Sampai apa?"

"Aku tak sengaja 'keluar' di dalam," tukasnya dengan intonasi menurun..

Anj—

Aku tertegun hingga mulutku setengah terkatup.

Buru-buru Rendi melanjutkan penjelasan. "Andai benar dia hamil, aku tentu harus bertanggung jawab menikahinya, bukan begitu?"

Aku tidak ada dalam kapasitas untuk menghakimi. Lagipula, aku nyaris tak percaya bahwa Rendi masih seorang perjaka. Buktinya permuda itu tak bisa mengontrol momen semburan sperma. Ini sekaligus menjelaskan tingkah dia yang kikuk ketika dihadapkan pada situasi mesum di akhir pekan silam.

Seks pertama Rendi dan Cindy seakan mengukuhkan hubungan keduanya. Itu berarti tak ada kesempatan bagiku untuk bisa mendapatkan satu di antara mereka.

Napasku menghela sejenak, seraya wajahku berpaling ke luar jendela. Tiap sudut tanaman terlihat indah menghiasi malam. Dimulai dari hijau rumput ilalang mengilat di bawah siraman rembulan, hingga awan terang berpendarkan cahaya purnama.

Sengaja kuciptakan sebuah kebisuan sebelum melanjutkan pembicaraan.

Mulutku lantas meracau pelan nyaris tanpa suara. "Kenapa?"

Rendi menoleh, wajahnya seperti menuntut penjelasan pertanyaan barusan.

"Kenapa kamu tega merebut Cindy?" lanjutku dengan suara lirih.

Jakun di lehernya terlihat berkontraksi, menelan ludah untuk mempersiapkan alasan. Pemuda itu baru sadar akan reaksiku yang sesungguhnya. Mulutnya meracau pelan. "Kukira Bang Dian sudah tak lagi mencintai dia. Buktinya Bang Dian tega mutusin Cindy."

"Kamu bodoh ya?" ucapku dengan nada meninggi. Alisku merenggut membentuk turunan. Emosi ini bukan dipenuhi kemarahan, tapi lebih ke arah sedih berbalut keputusasaan. "Bagaimana, ya? Aku cuma bingung. Aku belum bisa menyesuaikan diri hidup sebagai perempuan. Cindy itu pacarku, dan aku masih mencintainya."

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang