Bab III : Pelajaran

2K 53 0
                                    

"Dian, jangan pergi sendirian." Ibu—Namanya Riska, sumpah dia terlihat seperti masih berusia 20-an—mencegah langkahku yang hendak keluar rumah.

"Lah, kenapa? Aku cuma mau beli pulsa," jawabku bingung.

Ibu menunjuk kesal pada dadaku. "Kamu—nggak—pake—beha."

Hari ke dua sebagai perempuan, dan hal pertama yang diributkan adalah pakaian dalam?

Kemarin sempat ada argumen konyol juga sih, tentang aku yang tidak diperbolehkan lagi menggunakan sempak atau boxer. Seluruh pakaian lamaku dia sita, terus entah atas alasan apa, dia tiba-tiba saja membelikanku baju-baju perempuan yang mahal.

Oleh karenanya, sedikit banyak aku bisa paham kenapa sekarang dia terlihat kesal.

Alih-alih menggunakan rok dan kemeja berenda lucu, aku malah menggunakan celana jeans serta kaos berbalut sweater putih.

Rambut panjang bergelombang milikku juga sengaja diikat ala kadarnya karena terasa gerah ketika digerai jatuh.

"Ribet, ah," ucapku malas. Berdasarkan sesi pelatihan singkat kemarin malam, aku baru tahu bahwa ternyata ada semacam teknik khusus untuk menggunakan pakaian dalam penyangga payudara itu.

"Apanya yang ribet? Pake bra itu kewajiban sebagai seorang perempuan." Ibu masih saja bersikeras. "Gimana kalau nanti dada kamu jadi menciut, turun jatuh kayak buah manga busuk?"

Ebuset, perbandingannya nggak 'Apple to apple'.

"Lagipula, kamu harus bangga karena sebagai keturunan mama, kamu mewarisi ciri khas garis keturunan dari nenek." Ibuku membusungkan dadanya yang sudah busung.

Harus diakui, milik dia memang 'besar'. Mungkin bisa kutaksir sekitar H-cup? Atau E-cup?

Sepertinya aku terlalu banyak menonton hentai.

"Biarin atuh, Mah," balasku malas, "Mama lupa? Di dalam sini aku masih laki-laki." Lenganku menunjuk mantap pada diriku sendiri. "Sampe kapan pun aku gak akan pernah suka sama laki-laki, jijik tahu ngebayanginnya juga."

"Terus kamu mau jadi perawan tua?"

Jemariku mengacak-acak rambut tanda frustrasi, "AKU masih 17 tahun!"

"Berarti nanti ada kemungkinan kamu bisa ketemu jodoh yang ganteng?" Wajah dia malah terlihat berbinar-binar penuh pengharapan.

"Bodo amat ah!" Dengan segera kubuka pintu ruang tamu, lantas keluar dari rumah.

Di luar sana, sudah terdapat beberapa wartawan siap dengan kamera mereka. Orang-orang itu datang untuk meliput, menanyakan langsung kabar seputar diriku yang berganti kelamin. Beberapa tetangga malah terlihat bangga mengarang cerita seraya disorot kamera.

Jalan di depan rumah ramai sekali sampai-sampai ada pedagang asongan yang ikut berjualan, turut memeriahkan suasana.

"Apa-apaan...?" Dikuasai panik, dengan segera kututup kembali pintu rumah.

"Makanya Mama nyuruh kamu pake pakaian imut." Ibuku bertopang dagu seraya menyayangkan sikap sembronoku.

"Bukan itu, woi!" bentakku kesal. "Mama gak takut nanti aku kena bully? Katanya Bapak mau 'ngurus' ini, tapi kenapa sekarang malah jadi ada wartawan segala?"

"...ah?" Ibuku terlihat seperti baru saja teringat sesuatu.

"Lupa?"

Dia mengangguk.

"Jiah."

Berikutnya, lewat telepon rumah Mama menghubungi ayahku yang sedang bertugas. Mama itu parasnya cantik, terlihat awet muda sampai sering dikira kakakku. Tapi sayang, otaknya tipis.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang