Akhirnya aku bisa pipis sambil berdiri. Menyenangkan rasanya karena tidak harus lagi susah payah melepas rok, lalu berjongkok demi melepas air seni.
Galon di rumah terasa ringan ketika diangkat.
Otot-otot tangan hasil push up dan angkat beban telah datang kembali. Menaiki tangga pun kini tak terasa lelah sama sekali. Rasanya kangen bisa berlari sambil menghirup udara segar di pagi hari.
Badanku kembali segar bugar. Tiada pegal, capek, mau pun sesak kehabisan napas.
Menjadi pria memang yang terbaik. Selamat tinggal dunia suram penuh dengan rasa takut dan ketidakamanan. Selamat datang optimisme. Perasaanku tinggi bagai seorang penguasa siap menaklukan seisi dunia. Aku siap untuk menantang hari. Kedua lenganku terbuka meresapi hangatnya sang mentari.
Namun semangatku ciut tatkala menyadari kehadiran Rendi.
Bahuku tiba-tiba jatuh. Langkah kaki berubah lunglai.
Dia sudah mengenakan seragam sekolah sementara aku baru kembali dari lari pagi.
"Halo bang Dian," sapa pemuda itu.
Aku tak menjawabnya. Pandanganku mengerling ke arah lain sembari membuka daun pintu. Seluruh energi gemilang tadi kini sirna bak bunga layu mencium tanah.
Ada alasan khusus kenapa aku bersikap begini. Pikiranku berubah linglung ketika melihat Rendi.
Satu— sekarang aku bukan seorang perempuan. Tapi entah kenapa, otakku masih berpikir selayaknya gadis perawan. Riang gembira tiba-tiba muncul seperti putri yang dihadapkan pada pangeran idaman. Rasanya memuakkan. Aku tak ingin menjadi seorang gay.
Dua— dia telah merebut Cindy. Harga diriku sebagai lelaki rasanya telah tersakiti. Pun begitu, aku mengubur dalam-dalam Hasrat untuk merebut kembali gadis itu.
Bisa saja sekarang kutelepon Cindy, untuk kemudian memaksanya melayani nafsu bejatku di rumah ini. Sedari dulu hubungan kami memang seperti itu.
Namun tidak.
Aku tak ingin mengganggu mereka berdua. Ini semua salah.
Hubunganku dengan Siska juga sepertinya tak banyak berubah. Terakhir kami bertemu di rumah sakit, dia kembali memasang wajah masam seperti kebiasaan lamanya. Perlakuannya berbanding terbalik ketika aku menjalani hidup sebagai Dian perempuan.
Ah iya, lantas apa yang terjadi dengan diriku yang satu lagi itu?
Seingatku Pak Yayan membawa dia ke ruang perawatan khusus. Gadis itu tak sadarkan diri.
Dan memang mungkin dia tak akan bangun lagi. Karena jiwa yang mendiaminya telah kembali menggunakan tubuh asli sebagai seorang lelaki.
Kupikir begitu. Sepertinya aku dan dia adalah entitas berbeda.
Ardian namaku. Ardi untuk diriku saat ini, dan Dian untuk kembaranku yang mungkin tak akan membuka matanya kembali.
Di bawah guyuran shower ini aku terdiam berkontemplasi. Jika aku datang menemui diriku yang perempuan, apa aku bisa kembali lagi memasuki tubuh yang itu?
Hebat sekali, bukan? Aku seperti seorang pilot yang memiliki dua kendaraan yang bisa dipilih sesuka hati.
Kulihat pantulan diriku di cermin kamar mandi. Biasanya aku melihat pantulan gadis cantik di sana. Namun kini seorang pria menatapku balik seraya bibirnya mengukir senyum tak simetris. Dia terlihat seperti antagonis jahat dengan segudang pikiran bejat.
Tiada hal yang kusesali. Aku lebih menikmati hidup sebagai seorang lelaki.
Meski pada akhirnya, ada suatu hal yang harus kukorbankan dari segala kenyamanan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.