Bab VII : Murid Baru

1.3K 29 2
                                    

Kudengar kelasku akan kedatangan murid baru. Seorang laki-laki dengan dagu lancip dan model rambut seperti seorang aktor korea. Kabar itu cepat menjalar bak kebakaran hutan. Para siswi bahkan dibuat tak tenang,seakan mengharap kedatangan idola.

Tak perlu lama untuk menunggu, wali kelas segera datang memasuki ruangan. Seperti dugaanku, di belakangnya ada sosok yang sedari tadi dibicarakan. Sorot matanya terlihat dingin, setengah terkatup, memandangi lantai tempatnya berjalan. Kurasa dia tak memiliki ketertarikan apa pun pada sekitar.

Guru berpeci di sebelahnya melakukan perkenalan, "Hari ini kalian kedatangan teman baru. Dia pindah dari Tangerang."

Pemuda itu membuka mulutnya untuk berucap pelan, "Nama saya Rendi, tapi cukup panggil saja Ren."

Bermacam bisikan kecil tercipta detik itu juga. Seisi kelas mengomentari Ren dengan suara dikecilkan. Ada yang mengagumi parasnya yang tampan, ada pula yang dibuat jatuh hati akan ekspresi dinginnya.

Yah, aku yang terbiasa hidup sebagai laki-laki juga harus mengakui akan daya tariknya. Suara parau namun mengebas itu akan menggetarkan perempuan yang ada di dekatnya. Mungkin dia seorang vokalis. Idola dengan segudang fans di tempat asalnya.

Nah, masalahnya, kenapa tatapan dingin menyayat itu sekarang diarahkan padaku?

Kelakuannya itu seakan memerintah semua orang untuk ikut-ikutan melihatku.

Keringat dingin mungkin mengucur dari dahiku. Apaan nih?

Kualihkan perhatianku pada Siska. Dia juga sama-sama penasaran. Gadis itu malah ikut-ikutan menatapku, tanpa bicara pun aku paham isi pikirannya. "Ada urusan apa kamu dengan si murid baru?"

Maka kupalingkan kembali, balas menatapnya. "A—ada apa?" ucapku agak gelagapan. Sedikit kunaikkan alis tanda ragu. Susah payah kuukir senyum kaku.

"Kamu mirip dengan mendiang Bang Dian," ucapnya dingin. Kulihat wajahnya berubah mendung ketika berucap demikian.

Seisi kelas sontak berusaha menahan tawa.

Kurang ajar, aku dipanggil mendiang. Kapan aku dikebumikan!? Lagipula, tahu dari mana dia? Sok akrab pula, memanggilku dengan sebutan abang. Padahal, aku sendiri tak mengenalnya.

Jelas sudah, dia tidak mengetahui akan musibah yang menimpaku.

Siska di sampingku lantas berucap pelan, "Kamu siapanya Dian?"

"Saya saudara jauhnya. Dulu waktu kecil sering main bareng, tapi waktu pindah ke sini, saya malah dapat kabar Bang Dian sudah meninggal."

Sumpah, orang jahat macam apa yang bilang aku sudah mati? Tak bisa kusembunyikan kekesalan ini. Walau tentu saja, ukiran senyum masih tersaji sebagai topeng.

"Tau dari siapa kamu?"

"Dari bibi saya, orang tua Bang Dian langsung."

Bajingan.

Mungkin di kota ini, hanya dia saja yang belum tahu bahwa aku tidak mati. Aku hanya...

Euh...

...

Pikiranku agak tersendat, kala kembali ingat bahwa kini aku bukanlah seorang laki-laki.

...

Anyway, aku tidak mengingat orang ini. Waktu kecil mungkin aku pernah akrab dengan satu atau dua bocah, jadi dia mungkin salah satu dari mereka.

Mungkin ada alasan kenapa orang tuaku merahasiakan hal ini padanya. Konyol sekali. Padahal tak ada orang di kampung ini yang ketinggalan berita tentangku, jadi lambat laun dia pasti akan mendengar itu dari seseorang.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang