Bab XXI : Gadis Binal

1.5K 16 1
                                    


Udara dingin menyelinap masuk dari balik rimbun pepohonan. Embusan angin menggelitik punggung telinga hingga membuatku bergidik seketika.

Sendok berisi butiran nasi—berbalut minyak berwarna keemasan—mengayun ke dalam mulut demi menghilangkan lapar.

Aku harus menundukkan kepala untuk melahap makanan. Posisi meja ini terlalu rendah dari posisi ideal.

Dan kenapa pula dengan rambutku? Tiap helainya menempel pada makanan berminyak karena sedikit-sedikit menyelinap jatuh dari bahu. Model panjang digerai memang membuatku terlihat imut. Akan tetapi, ini tidak praktikal. Rasanya jauh dari kata nyaman alias merepotkan.

Aku salut pada Cindy. Gadis itu bisa menjaga ketenangan dalam menyantap makanan. Pergerakan tubuhnya begitu gemulai hingga menciptakan kesan anggun.

Coba perhatikan bagaimana dia menyeruput sesendok kaldu bakso itu. Begitu alami tanpa gerakan sia-sia.

Tidak seperti aku, Cindy menahan rambut kirinya yang tergerai dengan cara menyelipkan ke belakang telinga. Kelopak matanya terpejam, seakan meresapi impuls di lidah berupa gurih bercampur pedas. Ia tak terlalu risih dengan gerai rambut sebelah kanan yang menjuntai. Itu karena mangkoknya sejak awal sudah disimpan sejajar dengan lengan kiri, untuk mengantisipasi posisi rambut yang jatuh.

Hebat sekali. Semuanya dilakukan dengan penuh perhitungan. Ada sains di balik gerakan simpel seperti ini. Aku sama sekali tak menyangka.

Ekspresi wajahnya itu mengingatkanku akan pengalaman seksual kami.

Pikiranku melayang memutar kembali kenangan tak senonoh di masa lampau. Kala itu Cindy duduk berjongkok di antara kedua paha, sibuk merancap batang kejantanan.

Di balik penampilan alimnya, Cindy sebenarnya seorang gadis binal. Dia seringkali tak sabar untuk merasakan sensasi kental meluncur jatuh menelusuri kerongkongan.

Aku ingat sekali, waktu itu Cindy bertindak seperti orang hilang kewarasan. Dia menjilati lantai demi meresapi tiap tetes cairan kental yang terbuang. Cindy begitu berdedikasi dalam urusan ranjang. Ia pantang berhenti sebelum berhasil memuaskan lawan. Sungguh, pria mana pun pasti akan tersentuh hatinya. Mereka tak akan segan untuk memberikan segudang kasih sayang.

"Itu semua berkat didikanku," batin ini terkekeh.

Tentu saja, akulah yang sudah mengubahnya dari gadis alim tak berdosa, hingga berakhir menjadi perempuan binal candu akan senggama.

Kepolosannya dirusak dengan sempurna, seperti kain putih dirobek paksa.

Pun begitu, semua kenakalan itu hanya bisa dilihat olehku saja. Di kehidupan kesehariannya, Cindy tetap berperilaku anggun, santun, dan polos bak seorang gadis bangsawan. Ia selalu memilah tiap kalimat sebelum melontarkan sebuah ucapan.

Cindy itu bisa dibilang perawan yang sudah kenal luar dalam tentang laki-laki.

Coba lihat leher mulus di balik geraian rambut itu; begitu sensual, namun penuh pertahanan di saat bersamaan. Aku tak pernah menyangka, menyendok sesuap bakso saja bisa membuatnya terlihat begitu menggoda. Bibirnya mengecap nikmat, meresapi bumbu yang sedang menari-nari di lidah.

Yep, tak salah lagi. Cindy memang the best girl.

Tutur katanya lemah lembut. Segala sesuatu tentang dia terasa feminin sebagaimana seorang gadis seharusnya bersikap. Kelakuannya jauh dari kesan kasar, barbar, maupun seperti preman tak tahu aturan.

Bicara soal perempuan kasar, kebetulan sekali pandanganku menemukan sosok yang dimaksud. Perangainya cocok dengan deskripsi barusan. Dia menampakkan diri di tengah-tengah antrean kantin.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang