Bulan purnama berpendar temaram menerangi malam. Pohon-pohon yang berdiri rapi di halaman sekolah terlihat mengukir bayangan di atas tanah. Detail dedaunan seakan bergoyang mengikuti irama tiupan angin dalam kegelapan.
Petugas keamanan yang berjaga tampak tak acuh meski ada murid sekolah berseragam—datang bertiga membawa kendaraan—dengan sengaja berkeluyuran tepat jam sepuluh malam. Entah sejauh mana kuasa Lenka hingga sanggup datang dan pergi ke tempat ini, kapan pun sesuai keinginan.
Mataku jelalatan memandangi sekeliling. Tempat ini sepi dan terasa mati. Derit nyanyian jangkrik seharusnya terdengar ramai dari berbagai sisi. Namun, hingga detik ini, telingaku gagal menangkap apa pun selain suara embusan angin.
Aku tak sengaja menginjak ranting kering. Suara nyaring yang tercipta seakan memecah kebisuan di antara kami.
"Jalannya pelan-pelan, dong," ucapku setengah berbisik.
Tak ada tanggapan. Lenka dan Maria nyaris berjarak lima meter di depan.
Di lain pihak, aku merasa seperti tengah diperhatikan. Berulang kali wajahku menoleh ke belakang untuk memeriksa, tapi tak ada apa pun selain keberadaan pohon diam memaku. Tiupan angin dingin berembus pelan merasuk ke dalam sela rambut di tengkuk leherku. Bulu kuduk pun sukses dibuat merinding. Sungguhkah tempat ini ramai dipenuhi hantu?
Setengah berlari aku berhasil menyusul mereka. Wajah dua orang di depanku ini terlihat begitu angker. Aura keseriusan memancar deras hingga membuat suasana terasa tegang.
Setibanya dekat gubuk—tempat favoritku menghabiskan waktu kala membolos pelajaran—tepat di tengah hutan, Lenka memberikan instruksi lewat kode tangan agar menghentikan langkah.
Berbeda dengan Maria. Gadis itu lanjut bergerak hingga bersanding di samping kekasihnya. Pandangan keduanya menatap lekat pada sesuatu.
Aku tak bisa melihatnya.
"Siapa namamu," ucap Lenka, entah kepada siapa.
Daun kering terbang ditiup angin malam. Telingaku gagal menangkap suara apapun sebagai jawaban.
Maria di sampingnya ikut-ikutan mengucap dengan nada permusuhan. "Kenapa kamu menculik adikku? Lepaskan dia."
Lagi-lagi tercipta jeda kebisuan. Seluruh indera di tubuhku gagal menangkap semacam jawaban. Perlahan aku mulai merasa kesal. Ketidakpercayaanku semakin memuncak. Apa semua ini bagian dari lelucon? Sedang apa dua orang itu?
Mendadak saja tubuh Lenka terhuyung hilang keseimbangan. Pria itu bertekuk lutut menahan diri agar tak jatuh terjengkang. Pikiranku semakin dipenuhi tanda tanya.
Apa yang terjadi?
Pun begitu, Maria sama-sama dibuat kelimpungan. Gadis itu memposisikan lengannya seperti sedang menahan sesuatu. Pusat keseimbangan badannya berubah condong, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang sedang mendorongnya.
"Ada apa ini? Kalian kenapa?" ucapku kebingungan. Dua orang itu seperti sedang memerankan drama opera dengan lawan transparan yang tak terlihat oleh mata. Jika ini bagian dari lelucon, maka segeralah hentikan. Semua ini tidaklucu.
"Lari Dian, cepat pergi!" perintah Len. "Dia mengincarmu."
Dia? Dia siapa?
"Dian, awas!" Maria bangkit meski kesusahan. Langkahnya berderap menjejak tanah demi memperpendek jarak menuju posisiku.
Langkah Maria terhenti, tubuhnya terempas ke tanah seperti menerima hantaman dari angkasa. Aku bergidik ngeri menatapnya. Telapak tanganku sontak mendekap mulut. Suasana terasa genting, meski aku tak tahu apa yang sedang mereka hadapi.
Tubuhku kemudian condong ke belakang untuk memulai pelarian.
Detik itu aku baru tersadar, ada kekuatan tak kasat mata yang menahanku untuk menggerakkan badan. Rasanya seperti disekap seseorang, padahal tak ada siapa-siapa di sana.
Mulut Maria bergerak cepat, komat-kamit mengucap hal dalam bahasa yang tak bisa kumengerti. Kurasakan kekuatan cengkeraman dari energi aneh itu perlahan memudar. Tubuhku terasa kembali ringan.
"Dian, kemari!" perintah Lenka.
Demi Tuhan, aku serasa menjadi pion dalam sebuah permainan. Tadi disuruh pergi, sekarang diminta untuk kembali.
Meski begitu, apa yang bisa kulakukan selain menggerutu dalam hati? Lagipula, ini terasa tak adil. "Setidaknya beri aku pencerahan tentang apa yang sedang terjadi. Aku tak bisa mengetahui apa yang kalian lihat, juga gagal mendengar apa yang kalian tangkap."
"Kamu tak akan kuat menahannya," ucap Maria. Gadis itu mengayunkan ujung kakinya demi menyapu tanah. Dia mengukir sebuah markah cembung seperti batas pelindung.
Di belakangku, Lenka juga melakukan hal yang sama. Lengkungan itu berhasil mereka pertemukan, hingga akhirnya membentuk lingkaran sempurna selayaknya mencipta area aman.
"Manusia normal sepertimu pasti ketakutan jika mendadak dibuka mata batinnya." Lenka menambahkan. Bulir keringat menetes dari kulitnya. Pria itu terlihat basah kuyup seperti habis mandi. Napasnya juga terasa memburu seakan-akan sedang berlari.
"Oh..., coba saja!" ucapku menantang. Lagipula, jika merasakan keberadaan 'mereka' saja aku tak bisa, lantas dengan cara apa bisa membantu? "Jangan pernah menganggap remeh diriku."
Maria masih berdiri membelakangiku, dua lengannya terangkat tinggi dalam posisi seperti sedang menahan sesuatu. Gadis itu menoleh seraya menimbang keputusan. Wajahnya lantas mengangguk sejenak. "Len, beri dia kesempatan."
Terdapat sebuah keraguan tersirat di wajah Lenka. Jemari panjangnya kemudian menggenggam puncak kepalaku. Mulut pria itu mengucap rapalan aneh dalam bahasa asing.
Seketika itu aku merasakan sensasi asing. Sekujur tubuhku serasa berkedut, merespon induksi energi dingin menyejukkan.
Pandanganku terasa memburam. Berulang kali aku mengerjapkan mata, berusaha mengatur fokus akan segala sesuatu yang terlihat meremang.
Barulah detik itu aku sadar akan betapa gentingnya situasi di sekitar. Jantungku berdetak kencang, memompa adrenalin sebagai respons pertama menghadapi kegawatan.
Tempat yang tadinya sepi, kini terlihat begitu ramai. Malam sunyi kini berubah kandas diganti oleh beragam geraman dan lengkingan. Sekilas tadi aku bahkan mendengar tawa jahil—fenomenal—ciri khas sosok kuntilanak.
Di hadapanku, terdapat puluhan sosok astral bertubuh setengah transparan. Wujud mereka begitu mengerikan, mirip seperti penggambaran di film-film hantu picisan. Beberapa ada yang kukenal, seperti; pocong, tuyul, juga makhluk mirip babi yang dipenuhi lendir menjijikkan.
Aku juga sempat melihat manusia dengan kulit gosong berdarah-darah, merayap di tanah seperti hewan melata. Sorot pandang makhluk itu melotot tajam, dengan urat mikro semerah darah mengakar di tepian mata. Bibir di wajah terlihat merekah lebar mempertontonkan deretan gigi berhiaskan taring.
Kehadiran makhluk-makhluk itu membuat nyaliku ciut.
Apa yang sudah Lenka perbuat? Tiap indera di tubuhku seakan mendapat upgrade berupa kemampuan mendeteksi hal-hal tak kasat mata. Udara bahkan terasa berat hingga membuatku kesulitan untuk bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Novela JuvenilFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.