Bab XI : Cemburu

753 25 2
                                    

Pikiranku terus melamun memikirkan kejadian yang sudah-sudah. Rendi menguasai inti lamunan hingga empatiku senantiasa tertuju padanya. Aku berlari hingga kehabisan napas, terengah-engah lalu menatap puluhan kaki yang berpijak di atas aspal.

Dari sana, aku sadar posisiku sudah berada di jalan utama. Aku seakan tenggelam dalam lautan manusia. Ribuan obor menyala temaram memenuhi pandangan. Bau minyak tanah tercium kuat di udara. Nada lagu kasidah mengiringi keramaian jalan diapit gedung-gedung besar.

Sebagian besar rombongan itu terdiri dari bapak-bapak ditemani istri mereka. Puluhan anak muda mungkin terselip di tengah kemeriahan acara. Aku tak tahu, kebanyakan generasi saat ini kurang peduli dengan acara peringatan seperti ini.

Termasuk aku. Langkahku berbelok, memisahkan diri dari rombongan. Tak mau aku berlarut-larut tenggelam dalam kerumunan.

Tak jauh dari tempat ini, terdapat sebuah pertigaan. Di tengahnya terukir sebuah patung pewayangan berbentuk kereta kuda, lengkap dengan ukiran detail di tiap sudutnya. Sekeliling patung itu dihiasi tumbuhan hias berbalutkan cahaya temaram berwarna-warni.

Di pertigaan itu, terdapat jalur bulevar yang dikosongkan dari kendaraan bermotor. Kulihat orang-orang terduduk santai dalam posisi lesehan, di bawah naungan pohon hias di sepanjang jalan.

Wangi sate tercium semerbak di sini. Kipas angin berputar kencang, meniup puluhan daging tusuk yang sedang dipanggang. Asap tebal tercipta dari hasil pembakaran. Tapi itu bukan asap menyesakkan, karena wanginya sungguh menggugah selera.

Car Free Night, begitu acara ini disebut. Berbeda dengan festival obor tadi, tempat ini dipenuhi kumpulan muda-mudi, kebanyakan datang secara berpasangan. Di sini penerangannya terlihat indah dihias oleh lampu taman. Rimbunnya pepohonan pun tak luput dari perhatian. Tak pernah bosan aku memerhatikan LED yang bersinar seperti air menetes itu.

Lantunan musik terdengar sayup menembus keramaian. Aku bergegas menelusuri sumber suara, tertarik oleh bunyi gesekan senar biola. Aku ingin mengalihkan perhatian dari Rendi. Semoga dia bisa mengerti.

Denting nada piano terdengar indah menari-nari di telinga. Suara lembut senar biola membuatku memejamkan mata, khidmat meresapinya.

Alunan nada itu entah kenapa membuatku tersihir. Aku harus menembus kerumunan penonton untuk bisa melihat dua orang di atas panggung itu.

Seorang gadis berambut panjang berdiri anggun menantang kerumunan. Tiap lekuk tubuhnya memantulkan cahaya gemilang. Gaun biru membalut tubuhnya, berkibar indah ditiup angin kipas penyejuk. Perut gadis itu terlihat rata meski pakaiannya agak mengetat di bagian pinggul. Aku bisa memergoki sepatu hak berwarna putih berkilauan dari celah roknya yang panjang.

Jemari di lengan kiri begitu lincah meloncat-loncat menekan senar. Bow di tangan kanan menggesek naik turun seraya punggungnya meliuk berulang kali.

Di sampingnya terdapat sebuah piano klasik hitam berukuran besar. Seseorang duduk di sana seraya memainkan tuts dengan mata terpejam. Permainan itu penuh penghayatan hingga kepalanya meliuk-liuk bak dibuai angin malam.

Paduan denting senar piano, berpadu dengan lembutnya gesekan biola sungguh memanjakan pendengaran. Tak ada yang bersorak seperti penonton konser penuh dengan ketukan. Mereka semua khidmat mendengarkan lantunan merdu dari duet lagu klasikal.

Aku kenal musik ini. Karangan komposer zaman dahulu kala, Johan Panchebel, Canon in D.

Siapa dua orang di atas sana? Mereka terlihat begitu serasi satu sama lain. Pertunjukan baru saja usai, keduanya kompak menundukkan badan untuk kemudian berlalu dari atas panggung.

Posisiku semakin mendekat. Samar bisa kukenali wajah lelaki berpakaian kemeja hitam.

"Lenka?"

Lalu perempuan di sampingnya. Wajahnya tertutup oleh derai rambut ketika menunduk. Pun begitu, aku bisa menebak siapa dia,

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang