Hanya sedikit orang yang mampu melihat hantu.
Seperti aku, misalnya.
Pun begitu, hanya orang awam yang menyebut makhluk halus itu dengan sebutan 'hantu'.
Sekumpulan energi tak kasat mata itu lebih pantas disebut dengan julukan makhluk gaib.
Para kru Wisata Mistis—aku lebih mengenalnya dengan sebutan Wismis—ternyata sama-sama beranggapan demikian. Di kalangan para praktisi supranatural, kami menamai para entitas halus dengan sebutan MG (dibaca Em-Ji) agar tak terdengar klise.
Padahal, itu cuma singkatan dari 'Makhluk Gaib' saja.
Pihak Kemensup berencana untuk merekrut lebih banyak tenaga dari kalangan sipil. Aku ditugaskan menyusup ke dalam kegiatan ini sebagai seorang awam. Diam-diam aku berniat untuk melakukan evaluasi atas kemampuan mereka dalam menangani energi-energi astral.
Sebenarnya ada misi lain yang tak kalah pentingnya. Pak Yayan menugaskan khusus padaku dan Lenka untuk mencari keberadaan artefak khusus bernama [kotak]. Entah kenapa pihak pusat begitu bernafsu untuk mendapatkan benda itu.
Kru baru di bawah supervisi Pak Yayan—Seingatku namanya Ardi dan Dian—masih ada dalam tahap pelatihan.
Di sisi lain, Siska juga masih membutuhkan banyak bimbingan. Jadi kuserahkan ketiganya kepada Lenka. Dia jauh lebih ahli dariku. Profesinya sebagai guru juga tentu lebih cocok dalam hal transfer ilmu.
Aku tahu ini mungkin bukan keputusan bijak mengingat Siska masih menaruh perasaan mendalam pada tunanganku itu. Demi Tuhan, terkadang aku bisa dibuat terkesima akan bagaimana bentuk ekspresi wajah Siska ketika menatap Lenka. Tentu saja akan ada kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak kuinginkan. Seperti cinta lama bersemi kembali, misalnya? Itu bukan hal mustahil. Sebagai seseorang yang dibesarkan bersama-sama, tentu ada ikatan emosional khusus pria itu terhadap Siska.
Tapi aku percaya Lenka.
Aku dan Siska sudah bersaing secara jujur dan adil. Pada akhirnya, Len lebih memilihku untuk meneruskan ke jenjang hubungan yang lebih serius.
Kupikir Siska bisa sedikit lebih dewasa menyikapinya. Tapi kurasa itu hanya angan-angan kosongku saja. Berbaikan dengan dia dan menjalin hubungan akrab sebagai saudari kembar sepertinya belum akan bisa terealisasi dalam waktu dekat. Entah butuh berapa lama hingga waktu cukup untuk mengobati luka di hatinya.
Pikiranku masih saja melanglang buana, tak sadar bahwa proses penyusuran hutan ini kini berakhir di tempat tujuan.
Hutan, goa, dan tempat terpencil merupakan lokasi populer bagi para MG. Kebanyakan dari mereka memang kurang menyukai keberadaan manusia.
Kilap air terpantul dari tetes embun di dedaunan. Langit malam cerah disiram cahaya rembulan. Beberapa kali aku menyaksikan sekelebat putih bayangan mengintip dari gelapnya siluet pohon pinus. Mereka sepertinya mengendus aura khusus dari beberapa praktisi supranatural di depanku. Mereka sepertinya belum paham bagaimana cara menyembunyikan keberadaan energi astral dari tubuh masing-masing.
Aku mungkin mencoret beberapa orang itu dari daftar kandidat.
Di samping Riuja, kulihat ada seorang anak kecil.
Keberadaannya jelas terlihat janggal. Sedari tadi punggungnya berjalan membelakangiku.
Namun, tidak dengan wajahnya.
Kepala gadis kecil itu menoleh 180 derajat ke belakang, persis seperti burung hantu. Bibirnya juga tertarik lebar hingga nyaris menyentuh telinga, melempar senyum horor berusaha menakutiku.
Mohon maaf, aku sudah bosan melihat wujud berantakan kalian. Lalu pria telanjang—demi Tuhan wajah dia jelek sekali—di selokan sampingku ini. Sedari tadi dia hanya cengegesan melihatku seraya berguling-guling di atas lumpur. Aku tahu bagian bawah tubuhnya yang berlendir itu adalah sirip makhluk air. Tapi alih-alih menyamai bagaimana putri duyung terlihat elegan, sampah di bawah sana malah mengingatkanku pada ikan lele.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.