Terjadi keheningan di antara kami berdua.
Sesekali aku mencuri pandang, mendapati Rendi berubah kikuk seraya mengalihkan perhatian. Ia seperti tak mau melakukan kontak mata.Pemuda itu tidak bertindak sok bijak, atau menanyakan sebab musabab penderitaanku.
Dia hanya diam, menungguku tenang setelah tersengguk-sengguk.
"Kamu kenapa, Ren?" ucapku bingung. Aneh memang, karena pertanyaan ini seharusnya datang dari mulut dia.
"Tidak, itu..." Pemuda itu menutup wajahnya, berusaha menyembunyikan frustrasi. Matanya mengintip dari sela jemari. Ia menggigit lidah seraya berjuang mengutarakan isi kepala.
"Anu— itu... Ekspresi menangis Abang terlihat manis sekali. Aku sampai lupa diri."
Terdapat keheningan selama beberapa detik,
"Haa??"
Nggak salah tadi Rendi ngomong begitu? Apa aku baru saja dipuji? Butuh beberapa detik sebelum pikiranku akhirnya sadar akan sanjungan aneh itu.
"EEEEHHH?" Buru-buru aku memalingkan wajah. Telapak tangan menekan pipi dari dua sisi untuk menyembunyikan rasa malu.
Pembicaraan ini mau mengarah ke mana? Apa dia baru saja menggodaku?
"Ti-tidak! Maksudku bukan begitu. Euuuh..., gimana ya?" Dia memutar matanya, berjuang untuk menemukan kata yang tepat, "Baru kali ini aku melihat Abang menangis."
Oh, wajah menangisku dalam wujud perempuan? Aku menghela napas. Apa dia itu seorang sadis? Senang melihat perempuan menangis?
"Jangan panggil aku abang, please." Sempat kutahan tawa di tengah sesenggukan ini.
Kikuk di wajah Rendi terlihat kian menjadi. "O-oke, Bang..., maksudku, Kak."
"Dian! Panggil saja aku seperti biasa," ucapku menegaskan.
"Uhhmmmm." Dia berusaha memalingkan pandangannya, menjaga untuk tidak melakukan kontak mata."Aku tak tahu alasannya kenapa, tapi semoga saja Dian bisa menemukan jalan keluarnya."
Senyum kecil kuberikan sebagai respon. "Dasar, ya. Jujur saja, kamu senang melihatku menangis begini, 'kan?"
"Justru sebaliknya." Ia menyela. "Aku jadi ingin menjaga senyum yang biasa kulihat di sekolah."
"Hhhh..." Napasku serasa tertahan.
Semua amarah di hatiku cair seketika itu juga. Kobaran api dalam dada padam oleh siraman sejuk dalam bentuk seuntai kata.
Bisa-bisa sejam ke depan aku masuk ke IGD, nih. Gagal jantung mungkin menjadi penyebab. Terlalu sering dibuat berdebar-debar begini tidak cocok untuk kesehatan.
Aku tak sanggup menatap wajahnya.
Tujuan Rendi apa coba berkata seperti itu? Tiba-tiba saja dia begitu baik padaku.
Sekuat tenaga aku mengerem tarikan di pipi. Wajahku mungkin terlihat tak karuan, menjaga bibir ini agar tidak menciptakan lengkungan berbentuk huruf U. Baru kali ini aku berjuang gigih, hanya untuk tidak menunjukkan kebahagiaan.
"Hnngggg..!!"
Rendi, kamu itu gay atau apa sih? Bisa-bisanya mulutmu itu mencecar hebat, menerobos hatiku hingga merasa bimbang atas orientasi seksual. Kamu bilang kita ini teman masa kecil. Kita sama-sama laki-laki dan sering bermain bersama.
Tapi tetap saja, dulu aku sudah membuat kesalahan besar.
Kukira dia itu anak perempuan. Itu sebabnya aku berpacaran dengan Cindy di SMA. Aku karena salah mengira dia sebagai Rendi. Kukira aku jatuh hati pada teman masa kecil, ternyata cintaku itu malah salah sasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.