Hotel Mercury menjulang tinggi diterangi lampu sorot menuju langit. Rasanya seperti seorang protagonist memandang bangunan tempat bos terakhir saja.
Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung dibawa menuju kamar di lantai sepuluh.
Sepanjang jalan. Aku diam seribu Bahasa. Pikiranku pergi melanglang buana.
Detik ini tiba-tiba saja aku mulai merasa ragu.
Sungguh, benarkah aku akan melakukan ini? Apa kewarasanku mulai kembali normal setelah berhasil menenangkan diri dari tangisan di taman tadi? Kok aku malah merasa menyesal sih?
Om Yayan seperti berubah beringas tatkala kami berada di tempat privat. Tubuhku didorong jatuh menuju kasur.
Kasur hotel itu empuk, ya? Lenganku meresapi lembutnya spray berwarna putih.
Eh bentar, bukan itu! Aku masih belum siap. Aaaaaaa, dia menindihku, menjilati leherku. Tangannya meremas keras buah dadaku.
Mendadak aku merasa mual.
Ternyata benar, aku masih merasa jijik pada lelaki. Bagaimanapun juga aku sudah menghabiskan waktu 17 tahun hidup sebagai kaum adam. Aku masih merasa seperti seorang gay meski tubuhku kini murni seorang perempuan.
Jadi kudorong saja dia.
"He— hentikan..!"
Di luar dugaan, Om Yayan ternyata tidak egois.
Dia tidak memaksaku untuk melakukan ini tanpa consent dariku. Pria itu hanya memandangi lekat seraya dipenuhi bingung, lalu memosisikan diri duduk tepat di sampingku.
Ia menghela napas sejenak, lalu mengukir seringai kecil. "Berubah pikiran?" Ekspresinya itu persis seperti seorang bapak-bapak yang sedang memaklumi kesalahan anaknya.
Kami sudah sejauh ini. Tak enak rasanya sampai melakukan penolakan.
Tapi mau bagaimana lagi, pikiranku masih belum merasa sreg. Jadi kuberikan anggukan kecil sebagai jawaban.
Jujur saja, sebenarnya aku mulai merasa terangsang. Selangkanganku terasa basah entah sejak kapan.
Basah?
Pikiranku berputar kencang seketika.
Tunggu dulu! Aku mungkin masih dalam fase haid.
Seharian ini memang tak ada apa pun yang keluar dari 'sana'. Tapi kan baru tiga hari sejak aku merasakan datang bulan. Setahuku ada waktu setidaknya seminggu sampai seorang perempuan benar-benar 'bersih'.
Aduuuh, goblok sekali kamu Dian!
Pun begitu, Om Yayan sepertinya pribadi dewasa yang bisa menahan ego dan hawa nafsu. Padahal berdasarkan pengalamanku sebagai lelaki, jika aku ada di posisinya dan tiba-tiba saja ditolak untuk lanjut bersenggama, aku sih tidak akan peduli si cewek. Akan kuperkosa dia. Toh posisi kami sudah terkunci berdua di dalam kamar.
Otakku berputar keras. Aku harus memberikan alasan logis, "Aku masih belum siap, Om."
Entah kenapa aku kembali teringat pada Siska. Dulu aku berusaha memperkosa dia di ruang kelas. Gadis itu awalnya ragu, bimbang, dia hendak menurut pada nafsu bejatku. Tapi di detik-detik terakhir ia berubah pikiran, dan malah berbalik menghajarku.
Sekarang aku paham perasaan itu. Alangkah mengerikannya jika Om Yayan berperilaku sepertiku di kala itu dan memutuskan untuk memerkosaku.
Kulihat dia malah membelai pipiku. "Hey, kamu ternyata cantik. Tidak apa-apa, Saya bisa menunggu."
Sumpah, aku tak menyangka bahwa jijik terhadap lelaki bisa berkurang drastis hanya lewat satu pujian. Pantas saja perempuan bisa luluh hatinya hanya bermodalkan mulut manis saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Roman pour AdolescentsFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.