Tak ada waktu untuk menoleh pelan, hanya untuk menjadi korban selayaknya aktor bodoh di film horor.
Maka aku kembali menjejak langkah, mengayunkan kaki untuk berlari walau masih dikuasai lelah.
Lari atau mati, pikiran itu menguasai pikiranku. Tak ada waktu untuk merapal mantra, karena kegiatan itu memerlukan konsentrasi serta ruang luas untuk mengumpulkan energi di udara. Tempat sesempit ini membuatku tak berdaya.
Detik demi detik persimpangan kematian kembali kurasakan. Sang Minotaur ada tepat di belakangku. Makhluk itu bisa saja melecutkan tentakel dan mengakhiri hidupku seperti apa yang terjadi pada Baruna.
Tapi Tuhan memberiku kesempatan hidup lebih lama. Riuja begitu gagah berani menyempatkan diri untuk berhenti. Pemuda itu mengambil bebatuan di lantai, lalu melempari Sang Minotaur untuk membantuku melarikan diri.
Dia melakukan itu semata agar aku bisa menjauh dari area cengkeraman.
Berhasil! Makhluk itu tertahan sejenak, meraung kesakitan setelah mulutnya tersumpal batu lemparan. Lemparan yang bagus, kawan!
Pergelangan lenganku digenggam erat. Pria itu menuntun di depan berusaha menunjukkan jalan.
Karin tiba-tiba ambruk hilang keseimbangan. Kakinya terantuk pada bebatuan terjal.
Kali ini Iman datang membantu Karin.
Aku dan Riuja berlari melewati keduanya. "Ayo cepat!" perintah Riuja.
Namun, siapa sangka? Bukannya berterima kasih karena telah dibantu untuk berdiri, Karin malah menjejak tubuh Iman hingga pria itu terjengkang jatuh dalam posisi sulit untuk berdiri.
Tak ayal, pria itu pun menjadi bulan-bulanan sang Minotaur. Seperti kaleng remuk dilindas tank baja, Tentakel monster itu melahap habis tubuh Iman hingga menyisakan jerit siksaan.
Apa yang...?
Busuk sekali perempuan itu. Aku tak habis pikir.
Satu lagi korban jatuh.
Selesai dengan Iman, makhluk itu mungkin akan mengejar lagi.
Kita harus berpencar.
Oleh karenanya, kulepaskan genggaman tangan Riuja dengan paksa, lalu mengerem posisi lari, untuk kemudian berbelok mengambil persimpangan berbeda.
"Maria!" teriak Riuja. Ia tak paham apa tujuanku.
Sebodo amat.
Sepertinya Riuja juga paham, terlalu berisiko baginya untuk ikut mengerem dan mengikutiku. Lagi pula, aku sudah kembali berbelok di persimpangan lain. Setidaknya saat ini aku sukses memisahkan diri dari perempuan beban itu.
Keheningan kini kembali tercipta. Strategi memencar ini sepertinya sukses.
Suara geraman juga tak lagi terdengar. Aku bisa berhenti melangkah. Terus menerus berlari membuat sekujur tubuhku lemas hilang tenaga.
Aku harus mencari sumber air. Jalan keluarnya mungkin ada di sana.
Lampu senter bisa membantuku melihat dan berjalan. Namun, benda itu juga bisa membuatku terbunuh jika digunakan terlalu sering. Dalam kegelapan total, secercah cahaya sekecil apa pun pasti akan memantul dan menerangi banyak bagian dari labirin. Oleh karenanya, langkahku dibuat seringan mungkin dalam proses mengendap pelan.
Aku harus bisa menghafal labirin ini. Berapa banyak persimpangan dan belokan yang sudah kuambil sedari tadi?. Dalam kegelapan total ini, rasanya tak ada bedanya ketika terbelalak atau sedang memejamkan mata. Oleh karenanya, kuambil waktu sejanak, berusaha menggambar peta imajiner di dalam kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.