Bab XXII : Emosional

548 16 4
                                    

Daun kering terbang ditiup angin mendung. Awan gelap menyelimuti seisi langit. Kusaksikan siang berubah menjadi seredup senja.

Pikiranku terasa linglung. Langkahku gontai mengikuti dua orang di hadapan.

Cindy dan Rendi seakan lupa akan keberadaanku. Sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, mereka larut dalam ragam percakapan. Keduanya bersenda gurau, bercengkerama tentang guru dan pelajaran.

"Kak Rendi tinggal di mana?" tanya Cindy, tiba-tiba. Sedari tadi hanya basa-basi saja. Mendadak ia mengorek informasi pribadi lawan bicaranya.

"Itu..." ada semacam jeda.Rendi sejenak menoleh ke belakang— menatapku. Aku paham dia meminta izin dariku.

Kusilangkan lenganku membentuk huruf X, tanda ketidaksetujuan.

"Aku ngekos di dekat rumah Dian," jawab Rendi ragu.

Cindy memalingkan pandangannya padaku. Buru-buru aku menurunkan tangan.

"Heeee..., pantas ada yang bilang Kak Rendi dan Kak Dian jalan ke sekolah bareng-bareng. Aku sampai berpikir kalian tinggal satu rumah lho."

Buset, ini anak bisa langsung mikir ke sana.

"Ng-nggak mungkin," jawabku kikuk. "Rendi mungkin kerabat jauhku, tapi masa kami tinggal serumah, a—ahahaha... haha."

Dingin kurasakan,tatkala menyadari betapa tajamnya kecurigaan dari sorot mata Cindy. "Begitu ya..., kenapa aku jadi punya firasat bahwa kalian beneran tinggal satu rumah. Tapi entah karena suatu alasan, Kak Dian tidak mau aku tahu itu?"

Tajam! Insting seorang perempuan itu tajam sekali.

"Aku ngekos terpisah, kok," potong Rendy. "Cindy boleh main ke tempatku kalau beneran penasaran."

Hooo..., Si Rendi mulai berani ya.

Tapi gak apa-apa tuh? Aku paham niat Rendi itu semacam gertakan, agar Cindy percaya kami tidak tinggal serumah. Tapi apa jadinya jika hasilnya malah berbalik? Jangan-jangan kecurigaanku benar? Walau sulit untuk diakui, tapi aku merasa Cindy seperti punya ketertarikan terhadap Rendi.

"Boleh. Besok aku bawa makanan, kita main ke kosan Kak Rendi, yuk," tukas Cindy riang.

Tuh, kan.

Ternyata benar. Entah apa yang sudah terjadi di antara mereka. Cindy bisa seagresif ini. Semudah itu ya dia melupakanku.

Perlahan tapi pasti, muncul semacam irisan kecil di hati. Pedih. Napasku serasa tertahan.

Pun begitu, aku sadar diri, semuanya memang salahku. Aku yang pertamakali datang, lalu menyatakan ingin putus hubungan dengan dia. Jadi aku sebenarnya memang tak berhak untuk menuntut apa pun.

"Eeeeh, mungkin lain waktu saja. Tempatku masih berantakan," jawab Rendi kikuk.

Cindy menunjukkan wajah kecewa. Matanya yang bulat itu membuatnya terlihat seperti anak anjing imut minta belas kasihan.

"Main ke rumah aku aja," ucapku memotong, penuh harap.

Ada semacam jeda, sebelum Cindy kemudian menolaknya.

Dia sih tidak benar-benar menjawab, responsnya hanyalah berupa kebisuan. Kulihat matanya mengerling, berubah sayu dipenuhi bingung.

Diam tidak selalu berarti iya. Suasana kini malah berubah canggung. Percakapan seolah terhenti sampai di sana, hanya ada derap langkah disertai suara kendaraan yang melintas.

Cukup kok.

Aku sadar dia benar-benar tak lagi ingin lagi berhubungan denganku.

Keberadaanku di sini hanya menjadi orang ke tiga. Mereka butuh privasi untuk saling mengenal satu sama lain.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang