Bab XXIV : Berbaikan

323 14 2
                                    

Hari ini kulihat Siska. Wajahnya masih mendung seperti biasa.

Sulit untuk dimengerti, apa yang membuat dia bermuram durja? Lama-kelamaan aku berubah luluh melihatnya.

"Hey," ucapku menyapa.

Sorot matanya terlihat membulat, terkejut entah kenapa. "Di-Dian?"

"Iya, masih seperti biasa, masih Dian versi perempuan, ahahaha," tukasku mencipta candaan.

"Anu..." Sorot mata Siska mengerling. Mulutnya terlihat berat dalam mengucap sesuatu. Entah kenapa ini mengingatkanku pada Lenka semalam. "Itu...." Kata-katanya kembali dipotong semacam jeda. "Maaf..."

Dia minta maaf?

Minta maaf soal apa? Soal konser dan ciuman bersama Lenka di malam festival itu? Soal dia yang kembali mengejar cinta lamanya meski mantannya itu sudah bertunangan?

Tunggu sebentar. Semalam Len mengucap padaku untuk menjaga Siska, seperti seorang pria yang mempercayakan cintanya pada rival beratnya. Aku menerimanya sebagai bentuk dari sebuah kepasrahan.

Lantas kenapa dari kemarin Siska murung? Lalu sekarang tiada angin tak ada hujan tiba-tiba meminta maaf?

Otakku berusaha menghubungkan segala benang merah itu. Jangan-jangan hubungan terlarang itu menemui akhir yang buruk, lalu Siska merasa bersalah padaku, dan sekarang meminta maaf?

Maka kugenggam saja jemari Siska. "Semua orang pasti memiliki kesalahan."

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, berusaha menatapku lekat seraya menahan rahang yang bergetar. Ia terlihat emosional.

Aku bersumpah, mata Siska yang berkaca-kaca jauh lebih imut dari seekor kucing kelaparan meminta makan. Andai di kelas ini hanya ada kami berdua, rasanya sulit bagiku untuk menahan diri agar tak menciumnya.

"Hey," ucapku pelan, hendak mengalihkan topik. "Kita bukan sekadar teman, 'kan?"

Agak kebingungan ia menjawabnya. "Maksudnya?"

"Kamu mencintaiku?" ucapku gamblang. "Kalau aku sih, iya. Aku sayang kamu, Siska."

Ditembak secara tiba-tiba, gadis mana pun pasti akan berubah salah tingkah. Kulihat Siska berubah kikuk seraya bingung mencari jawaban yang tepat. Oleh karenanya, tak kuberikan sedikit pun jeda, untuk kembali menggempurnya lewat teknik gaslighting.

"Aku..., sayang kamu juga, Dian."

Heh, aku kenal dia sebagai cewek kasar. Seujung pengalaman sebagai lelaki, tak pernah aku mendapati respons seperti ini.

"Maksudku, kamu menyukaiku yang seorang perempuan?"

"Tidak!" Dia dengan segera menampik. "Tak peduli lelaki atau perempuan, aku ingin bersamamu."

Seringai kecil terukir di bibirku. "Tapi kamu yakin ingin berhubungan denganku dalam kondisi seperti ini? Kamu tahu, posisi sebagai perempuan akan jauh lebih nikmat apabila kita bisa melakukan 'itu'."

Wajahku kian mendekat, lalu membisikkan banyak hal mesum di telinganya.

Pipi Siska terlihat agak memerah. Telinganya bahkan ikut-ikutan berubah warna seperti kepiting rebus. Di balik ketagguhannya, dia masih seorang perawan minim pengalaman.

Sulit bagiku untuk menelusuri ingatan akan kapan pertama kali kami berubah akrab. Tapi dari sekian banyak kami berinteraksi, umumnya hubungan kami adalah sebatas rival dalam perguruan Pencak Silat bernama Bima Suci.

Aku yang terlewat blak-blakan dalam berinteraksi dengan perempuan, entah kenapa merasa tak nyaman ketika ada orang yang menuduh kami saling menyimpan semacam perasaan. Pada akhirnya, kami malah menutupi keakraban itu lewat caci maki dan pertengkaran.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang