Extra Story : Recruitment

292 14 2
                                    

Mulutku merenggut keras, mengucap pelan walau sayup tak terdengar.

"Si bangsat itu..."

Sesosok perempuan menatapku dari balik cermin. Iris mata berwarna hijau miliknya seakan berpendar di bawah lampu temaram. Sebuah pandangan siap mengiris siapa pun yang berhati lemah.

Yulia Fransiska, itu nama pemberian orang tuaku. Dari dulu, aku sering dikenal sebagai perempuan yang tak ramah.

Rambut panjang sebatas pinggul menggelayut bebas di punggungku. Kucuran air di wastafel terasa dingin membasahi tangan. Tak peduli berapa kali aku membasuh wajah, tetap saja sebab di mata ini sulit sekali untuk dihilangkan. Oleh karenanya, kontak lens hijau itu kulepas walau hanya untuk sementara.

Hari demi hari berlalu begitu saja. Rasa gundah kental menyelimuti kalbu tiap kali aku teringat Dian.

Tidak, tidak. Bukan Dian yang itu, bukan Dian brengsek yang hobi memerawani pacarnya.

Aku rindu dengan Dian perempuan. Entitas misterius yang mengisi relung hatiku.

Meski sayangnya, hal itu tak berlangsung terlalu lama.

Dian yang perempuan diamankan oleh pihak Kemensup. Keberadaannya hilang entah ke mana. Tak banyak yang kuketahui tentang dirinya. Orang-orang hanya tahu si mesum itu kembali berganti jenis kelamin menjadi lelaki.

Pandanganku menebar luas pada seisi kamar. Banyak hal yang membuatku merasa tak betah di sini. Terlebih karena adanya keberadaan dua orang itu.

"Selamat pagi, Lia." Seseorang menyapaku, tak lama setelah aku menuruni tangga menuju lantai satu.

Yulia Fransiska, itu memang nama lengkapku. Tak banyak orang yang memanggilku dengan sebutan Lia.

Dan suara perempuan ini entah kenapa terasa menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan Maria?

Langkahku melambat untuk beberapa saat, sekadar untuk menoleh seraya membalas basa-basi. "Pagi," ucapku tanpa intonasi.

Perempuan itu menebar senyum lembut secerah mentari. Pakaiannya terlihat rapi mengenakan kemeja putih dan rok abu-abu.

Di hadapan Maria, terdapat Len terduduk lemah tak berdaya. Dia belum bisa berjalan dan terjebak di atas kursi roda. Kakinya berbalut gips kaku hingga membatasi pergerakan. Betisnya mengalami luka patah tulang.

Kasihan sekali, dia pasti merasa amat kesakitan.

Wajah pria itu senantiasa beku. Akan tetapi, mimik sedingin salju itu pasti mencair sedetik setelah melihat wajahku. Senyumnya sukses membuatku canggung. Jantungku seperti memberontak hendak meloncat keluar. Lenganku mengepal keras, berusaha untuk menguasai diri. Mataku lantas mengerling. Aku harus mengalihkan perhatian karena kami terlalu lama saling melempar pandang.

Entah semerah apa pipiku saat ini. Susah payah menahan malu, bibirku melengkung membentuk huruf U.

Lenka adalah teman masa kecilku. Dia tinggal sebatang kara. Orang tuanya pergi entah ke mana, tak mau bertanggung jawab mengurusi hajat hidupnya.

Orang tuaku menganggapnya seperti anak sendiri. Mereka mengangkat Len sebagai anak angkat. Kami tumbuh besar tak terpisahkan. Selayaknya saudara, kami mengalami suka-duka dari TK hingga SMA.

Tak ada hubungan darah di antara kami berdua. Oleh karenanya, bukan hal aneh apabila hati ini memupuk perasaan spesial padanya.

Hubungan kami berjalan mulus. Tak ada batas apa pun di antara kami berdua. Aku sudah memantapkan niat untuk menikah dengannya selepas lulus SMA. Meski tak ada cinta yang terucap. Namun aku tahu, dari lubuk hati paling dalam, aku yakin bahwasannya kami memang saling mencinta.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang