Bab XVI : Lelaki Normal

672 19 2
                                    


Kedua orang tuaku itu penggila seks.

Demi Tuhan, mereka seharusnya membangun kamar tidur itu kedap suara. Minimal dindingnya tebal. Cukup kokoh hingga suara desahan Mama tidak bocor terdengar sampai ke lorong.

Ini seperti ada orang mesum menyetel film porno keras-keras lewat loudspeaker, tahu gak? Hanya saja, dalam kasus ini, aksi mesum itu bukanlah sebatas audio visual saja, yakni sebuah praktik peragaan yang sungguh dilakukan.

Memang seperti itulah yang terjadi. Suara erangan dan rintihan Mama menggema di seisi rumah, memenuhi udara malam. Seriusan, mereka berhubungan badan dari jam berapa sih? Gak capek apa?

Tengah malam aku sering kali merasa lapar. Itu sebabnya aku pasti turun menuju dapur untuk menyeduh seporsi mie instan.

Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan suara-suara aneh itu. Namun, tidak bagi Rendi. Untuk seorang perjaka yang belum pernah menyentuh perempuan, mendengar langsung porno aksi secara nyata mungkin terlalu berlebihan bagi dia.

Kali ini, kulihat dia sibuk menempelkan telinganya pada daun pintu ruangan orang tuaku. Berusaha mencuri dengar penuh penghayatan. Mungkin dia sibuk berimajinasi membayangkan bagaimana wajah mamaku yang awet muda itu tengah meracap dikuasai nafsu menggelora hingga lidahnya dibuat menjulur keluar. Apa itu namanya? Ahegao?

Rendi yang curi dengar, tapi malah aku yang merasa canggung. Oleh karenanya, langkahku terhenti kala sedang menuruni anak tangga.Wajahku mengintip sedikit dari sudut tembok, memerhatikan akan bagaimana frustrasinya Rendi berusaha menahan berahi.

Oh, dan coba lihatlah tonjolan di balik celana boxer yang ia kenakan.

"Gede juga, ya," batinku. Aku seperti perempuan mesum yang menahan tawa seraya menutupi mulutnya sendiri.

Hahahaha, coba lihat wajah penuh nafsu itu. Ekspresi si ganteng kalem yang selama ini terpatri di benakku buyar setelah mendapati bagaimana hidungnya kembang kempis dengan mata terbelalak hebat.

Yah, aku tak akan menampiknya, sih. Sebagai lelaki, dahulu juga terkadang aku sulit menjaga imej ketika nafsu sudah di ubun-ubun.

Lalu, apa jadinya ya jika saja tiba-tiba muncul perempuan tepat di depan dia?

Tanpa berpikir panjang, langkahku kemudian berlanjut hingga ke lorong, menunjukkan diri sekitar lima meter darinya.

Pemuda itu sontak tergagap-gagap meski tanpa suara. Aku menahan gelak tawa melihatnya refleks merapatkan paha. Adik kecilnya yang menegang itu sebisa mungkin dilindungi dengan kedua tangan.

Wajahku saat ini mungkin mengukir senyum meledek.

"Kamu lelaki normal, Ren," ucapku seraya mengembuskan napas. Berusaha menunjukkan sikap memaklumi.

Nah, sekarang apa yang akan kamu lakukan? Akankah kamu menyerang perempuan tak berdaya ini? Pakaian yang kukenakan saat ini sebenarnya cukup menantang. Aku hanya menggunakan tank top dan celana tipis berbahan berat mirip sutra. Alhasil, tiap lekuk tubuhku tertonjol sempurna, termasuk bagaimana puncak dadaku yang menggatung bebas tanpa ditutupi bra.

"Ah..., itu..., ummm..." Rendi masih saja gelagapan.

Tiada kata yang terucap. Kebisuan tercipta di antara kami berdua. Rasanya aku seperti baru saja memergoki anak kecil yang sedang mencuri buah mangga. Kesabaranku mulai hilang detik itu juga.

Haiiiih, si bencong ini sepertinya tak bernyali untuk menyerang perempuan.

"Aku lapar," ucapku memotong, agak ketus.

"Mau aku bikinkan nasi goreng?"

"Boleh," jawabku singkat.

Maka di sinilah kami sekarang. Berdiam diri di dapur dalam sunyi. Aku duduk di meja makan seraya meneguk segelas susu, sementara Rendi sibuk mengaduk-aduk nasi di atas wajan.

Aku (Bukan) Perempuan..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang