(18) Terbangun

11 5 0
                                    

Di sebuah gedung yang terlihat terbengkalai itu ada seorang gadis yang tengah diikat dengan kursi. Matanya masih terpejam, beberapa menit yang lalu gadis itu di pukul sampai pingsan.

Dan juga ada seorang pria dengan jas hitamnya tengah duduk dengan kaki kanan di atas kaki kiri. Ia tersenyum sinis. Hari ini ia mendapat korban selanjutnya setelah lamanya ia tidak mendapat korban.

"Bos, apa perlu kita bangunkan?" Tanya Alex. Dialah yang membawa gadis itu kemari.

Edrik mengisyaratkan tangannya untuk tidak membangunkan gadis itu. Edrik berdiri mendekati gadis itu.

Plak

Satu tamparan keras Edrik layangkan. Zea menautkan alisnya merasa pipinya panas, ia membuka matanya perlahan.

"Good, bangun juga" suara yang terdengar bass mampu membuat Zea melotot seketika. Ia melihat kedepan, melihat dimana Edrik dan anak buahnya sedang melihat nya juga.

"Apa yang lo mau?” Tanya Zea to the point. Edrik tertawa. Satu lagi tamparan ia layangkan pada Zea hingga sangat empu menoleh ke kanan.

Zea memang tau Edrik, musuh perusahaan bebuyutan papanya. Apa mungkin ini juga ada hubungannya dengan perusahaan papanya.

"Gue mau lo jual aset berharga perusahaan papa lo itu"

Ternyata dugaannya benar, ia sendiri tak tau aset berharga perusahaan papanya, bagaimana ia akan menjelaskan.

"Gue aja gak tau soal itu"

Plak

Zea meringis, ingin sekali ia membalas perbuatan Edrik. Dia tidak bisa, kedua tangan dan kakinya diikat pada kursi.

"Bodoh" Edrik terkekeh pelan. Seru juga menampar seseorang dengan mudahnya.

"Kenapa kalian Tanya gue? Lo gak tanya ke kakak gue. Mungkin aja perusahaan papa bisa aja diwariskan padanya"

Edrik sepertinya tengah berpikir. Ia segera menggeleng. Ia mendekat pada Zea sembari mengambil pisau lipat di saku jasnya. Bukannya merinding, Zea malah menatap dingin dan datar.

Bless

Pisau lipat itu mengenai paha Zea yang memakai celana jeans. Celana itu juga sobek. Darah mengalir dari paha Zea.

"Lepasin gue tuan Edrik. Anda seharusnya bukan tanya ke saya. Yang pasti perusahaan papa saya di wariskan pada kakak saya" Ujar Zea penuh dengan hormat, meskipun pahanya terluka. Ia tetap harus melawan.

"Kamu adalah aset berharganya nona Zea. Bagaimana jika saya menyandra kamu, lalu meminta papamu untuk memberikan aset penting perusahaan, hm?"

Pisau lipat itu terus menggores pipi. Darah juga ke luar bersamaan dengan injakan kaki Edrik. Zea meringis kesakitan.

"Sekalipun lo nyandra gue, papa gue gak peduli. Mau gue mati pun papa gue gak peduli" Edrik sedikit terkejut, ia segera menetralkan ekspresi nya.

"Oh, jadi ceritanya kamu sudah tidak dianggap ya" Edrik terkekeh. Ia menyentuh dagu Zea supaya ia mau melihat nya.

"Alex, cari lebih dalam lagi tentang Wijaya" Alex mengangguk. Edrik kembali menggores lengan Zea dengan pisau lipat.

Perih, itulah yang dirasakan Zea. Meskipun Zea memang ketua geng bukan berarti ia kebal terhadap luka.

"Biarkan dia disini, sampai ada orang yang masih menganggap nya. Oiya, mata matai terus orang yang bernama Jinny itu" Edrik memasukkan kembali pisau lipatnya. Zea meraung marah. Tidak boleh ada yang menyakiti sahabatnya.

"Jangan apa apain dia!" Raung Zea. Semuanya tertawa puas, satu persatu orang yang disana keluar dari ruangan itu. Hanya tersisa 2 orang sebagai penjaga.

Ilzea (Tunda) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang