(22) Kita berbeda

15 5 0
                                    

Zea melihat di sekitarnya, ia tengah berpikir Dimanakah ia sekarang berada. Bukannya tadi ia berada di rumah sakit?

Entah kenapa kedua kaki berjalan sendiri tanpa diperintah. Zea berjalan terus hingga melihat pemandangan yang sangat indah, disana terdapat padang rumput yang hijau dan segar.

Disana juga terdapat kursi panjang dan juga, eh? Pandangannya menyipit. Ia melihat seseorang yang juga duduk disana. Entah mengapa kakinya malah berjalan kesana.

Semakin dekat dengan sosok itu, semakin jelas pula bahwa dia tidak sendirian. Zea berhenti, tiba-tiba saja muncul bayangan seperti dirinya tengah memeluk seseorang tersebut.

"Apa yang terjadi?" Gumamnya, ia hanya berjarak 2 meter di belakang mereka. Zea dapat melihat jelas perempuan itu persis seperti dirinya. Dan lelaki itu, ah ternyata ia berada di masa lalunya.

"Maaf, kalau aku baru mengatakan nya sekarang" lelaki itu menggenggam jemari Zea dimasa lalu.

"Tapi kenapa mendadak? Padahal kan masih ada 1 tahun lagi kita bakal lulus. Kenapa kamu milih pindah Mas Ilmi!!" gadis itu menangis di pelukan lelaki bernama Ilmi yang diketahui merupakan pacarnya.

"Maaf, tapi ini kemauan orang tuaku. Maafkan aku Zea" dengan lembut Ilmi menghapus jejak air mata Zea di masa lalu.

"Kalau begitu berjanjilah untuk tetap menjaga hati untukku" Zea di masa lalu memang pernah menaruh perasaan pada Ilmi sejak Ilmi menjadi pacarnya. Namun hanya 2 tahun kenapa takdir memisahkan mereka berdua?

Ilmi memejamkan matanya, rasanya sangat berat untuk mengatakan nya.

"Kenapa diam mas Ilmi??!!! Apa kamu juga akan mencari yang lain lalu melupakan ku?" Zea merasa pasokan oksigen di sekitar nya menipis hingga ia sulit untuk bernafas, sesak rasanya.

Zea menyentuh kepalanya yang terasa nyeri, kemudian pandangannya memburam. Namun beberapa detik kemudian dia sudah berpindah tempat.

Ini adalah taman kota, tempat pertama kalinya Zea dan Ilmi bertemu. Zea juga melihat dirinya yang sedang asyik makan eskrim didatangi seorang lelaki dengan pakaian putih abu abunya.

"Hm, nama Lo Zea kan?" Gadis yang disana mengangguk, ia juga kenal siapa lelaki ini yang pernah membantunya ketika dibully.

"Mau gak lo jadi pacar gue" Setelah mengatakan itu, pandangan Zea sekarang kembali memburam. Dan sekarang ia berada di sebuah gedung tua yang sepertinya sudah tidak terpakai.

Disana, ia dapat melihat dirinya persis sedang meringkuk ketakutan. Entah Zea sendiri tidak ingat tentang hal ini. Lagi dan lagi sosok Ilmi menghampiri lalu memberikan jaket miliknya.

Untuk kesekian kalinya, Zea ingin bangun dari mimpi ini. Ia tau ia sedang bermimpi namun mimpinya terasa menyakitkan baginya.

Pandangan memburam kembali, Zea sudah tak kuat melihat kenangan kenangan indah bersama Ilmi. Ia berada di sekolah nya yang lama. Dimana Zea yang dulu sedang mengobrol dengan Ilmi. Meskipun Zea berusaha menutupi matanya, namun suara itu jelas terdengar di telinganya.

"Mau aku anterin, hm?"

"Tidak usah repot repot mas Ilmi, aku dijemput sama supir pribadi. Lebih baik aku segera keluar dan pasti mereka sudah menungguku"

"Yaudah, aku anterin ke depan aja"

"Tidak tidak usah mas Ilmi. Aku bisa sendiri kok. Mas Ilmi ada rapat OSIS kan? Lebih baik mas Ilmi segera kesana daripada telat nanti lho. Aku gakpapa sendirian"

"Tapi-"

Lagi dan lagi, pandangan Zea memburam. Ia ingat semuanya, pertanda apa ini? Apa ada tanda tanda Ilmi kembali?

"Please udah, gue capek. Jangan bawa gue ke masa lalu" masih dengan memejamkan matanya, perlahan-lahan ia membuka kembali kelopak matanya.

Hingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa sekarang ia di rumah sakit. Ia menampar pipinya dan menunjukkan bahwa ia tidak mimpi.

Plak

Sakit. Ternyata bukan mimpi, akhirnya Zea bisa segera bangun jika tidak mungkin akan lebih banyak rekaman tentang dirinya dan Ilmi.

Semua orang yang di ruangan rawat itu melihat kearah Zea terkecuali Gilang.

"Kenapa?"

"Lo tadi manggil nama seseorang yang tgal terlalu jelas. Keringat lo sampai mengguyur tubuh lo semua gitu"

"Gue gakpapa kok. Oiya sekarang jam berapa?"

"Jam 8 pagi"

Zea melirik jam dinding yang ternyata benar sekarang pukul 8. Tiba-tiba saja ia ingin menghubungi mamanya yang semalam me read doang pesannya.

"Oiya hape gue mana?"

"Gak tau"

Zea menepuk jidatnya lupa bahwa kemaren malam ia melemparkan hapenya kearah Gilang. Yang pastinya handphone nya dibawa Gilang.

"Santai Ze, gue udah absen lo kok" sahut Jihan. Ia memiliki sepupu yang kebetulan sekolah nya sama dengan Zea. Bukan itu yang Zea maksud, ia harus menghubungi mamanya pagi ini.

"Makasih, tapi kalian tau Gilang?"

"Gilang ada di Markas sejak tadi pagi sekitar jam 7" ujar Zidan.

"Gue mau pulang" rengek Zea. Zea meminta hal itu karena ia takut mamanya akan bertambah marah padanya.

"Jangan, luka lo belum sembuh. Lo harus dirawat disini dengan baik" Cegah Ale.

"Tapi gue pengen pulang. Please ijinin ya ya ya" minta Zea dengan pupil matanya yang dibuat dibuat hingga orang yang melihat nya seakan terhipnotis.

"Oke, tapi lo jangan banyak gerak supaya luka lo gak terbuka lagi. Bentar gue panggil Bu Novia dulu" Ale memencet tombol merah yang ada disana. Hingga tak lama kemudian, datang Bu Novia dengan dua rekannya.

"Maaf ada yang bisa saya bantu?"

"Temen saya boleh pulang gak dok? Dia pengen tu" Ale memberikan jawaban seraya menunjuk wajah Zea yang masih memasang wajah menggemaskan nya.

"Eee, sebenarnya tidak boleh. Tapi.. Gakpapa lah, yang terpenting jangan banyak gerak dulu" Zea mengangguk kesenangan. Hal itu mampu mengundang tawa anggota inti SARM.

🥀🥀🥀

"Cukup, udah nyampe rumah gue. Makasih semuanya" Ujar Zea, Ia memang disuruh duduk di kursi roda jika ingin pulang, Awalnya ia tak mau namun karena diancam tidak diperbolehkan pulang akhirnya Zea mengalah.

Zea menggiring kursi roda. Ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Ia segera mempercepat gerakan kursi roda itu, hingga ia hanya menemukan makanan kemaren yang sudah basi.

Ia jadi berpikir, apakah selama ia tidak dirumah ibunya selalu keluar rumah tanpa makan dirumah? Mungkin iya, mungkin karena kesepian makan sendirian di rumah.

Ia ingin sekali menaiki tangga lalu mencari keberadaan mamanya di kamar. Dengan sekuat tenaga, ia berdiri. Namun  ia membutuhkan sandaran tongkat karena ia tidak bisa berdiri tegak.

Ia bersandar pada kayu yang digunakan sebagai pembatas tangga. Pelan-pelan ia menaiki tangga satu persatu, hingga ia berada di lantai 2. Ia mengetuk pintu kamar Raisaa.

Sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang di dalamnya. Ia pun membuka pintu kamar itu yang ternyata juga tidak terkunci.

"Ma-"

_____________________

#Tbc

Ilzea (Tunda) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang