(42) Bujuk

8 2 2
                                    

"Bang, izinin gue biar Zea tinggal di apartemen gue bang" Gilang terus memohon pada Gio.

"Zea sendiri kan yang gak mau? Jangan salahin gue." Gio melipat kedua tangannya di depan dada, menatap dingin Gilang.

"Bang, bukannya lo yang ngehasut Zea ya?"

"Bilang apa lo? Gue gak pernah ngehasut tuh anak. Salah sendiri lo buat dia luka, udahlah kalau cuma mau bahas itu, mending gue pergi. Waktu gue berharga dan gak boleh gue buang sia-sia"

Setelah mengatakan itu, Gio meninggalkan Gilang yang masih terdiam. Tanpa sadar tangan Gilang mengepal kuat.

🥀🥀🥀

Tuan, sepertinya adik tuan sedang tidak baik-baik saja. Tadi saya mendengar suara benda jatuh, saya tidak berani menemuinya. Apa yang harus saya lakukan?"

Ucap seseorang dari seberang telpon yang diyakini sebagai tangan kanan Gio.

"Saya pulang sekarang"

Gio menjambak rambutnya, ia takut adiknya akan melakukan hal yang membuatnya benar-benar menyesal. Ia memang perintahkan tangan kanannya untuk mengawasi Zea.

Gio menjalankan mobilnya dan segera melesat sampai di pelarangan rumahnya. Nafasnya tersengal-sengal, ia melihat Faqih-tangan kanannya itu tetap menunggu di luar kamar Zea.

"Terima kasih, kamu buatkan saya minum dulu" Perintahnya pada Faqih dan langsung diangguki nya. Perlahan knop pintu ia pegang, lalu ia mulai membuka pintu kamarnya.

Hal yang pertama dia lihat adalah Zea yang kini menangis diantara kedua lututnya yang digunakan untuk bersangga, hati Gio lega. Gio mendekati Zea, tanpa ia duga reaksi Zea membuatnya tertegun.

"SIAPA KAMU? BERANI MENYENTUH GUE"

Gio tertegun, mata Zea memerah menatap tajam Gio.

"Zea, tenang ini abang Zea. Zea, abang mohon tenang ya"

Bukannya tambah tenang, Zea malah melemparkan benda-benda di sekitarnya ke arah Gio. Bantal, selimut ia lempar semua.

"Zea sadar"

Gio kalah menghindar saat vas bunga yang dilayangkan Zea hampai menyentuhnya.

Pyar

Suara itu seakan menyadarkan Zea, ia melihat tangannya bergetar, menatap abangnya yang kini juga menatapnya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia menghampiri Gio.

"Aku minta maaf bang" sesalnya.

Gio tidak menanggapi, ia hanya memegang kepalanya yang terasa pusing.

Brak

Pintu didobrak keras oleh Faqih. Ekspresi terkejut nya tidak bisa ia sembunyikan, ia hendak menghampiri tuannya dan membantunya, namun ditahan oleh Gio.

"Kamu gakpapa kan?" Tanya Gio menghampiri adiknya, meskipun di kepalanya serasa da cairan kental berwarna merah yang menetes.

"Abang darah" teriak Zea histeris. Ia mengambil tisu lalu mengusap darah abangnya yang keluar.

"Maafin Zea, gara-gara Zea abang jadi gini"

"Sudah, lupakan. Faqih tolong kamu panggilkan dokter pribadi saya untuk datang"

Faqih menganggukkan kepalanya, ia berjalan mundur lalu segera memanggilkan dokter pribadi Tuannya.

"Maaf"

Untuk kesekian kalinya, Zea terus meminta maaf. Ia juga bingung kenapa dirinya bisa hilang kendali.

"Udah syut, mending kamu istirahat aja. Jangan pernah pikirin orang yang udah nyakitin kamu ya"

Gio mengelus kepala Zea. Rasa sakit yang menyerang di kepalanya semakin membuat pandangan memburam.

"Abang pergi dulu ya"

Zea hanya menatap polos kepergian Gio, matanya sudah berkaca-kaca. Ia melihat tangannya yang kini bergetar hebat.

"Akhh"

🥀🥀🥀

"Ck, lo bawa Zea kemana?" Alex menghentikan Gilang yang akan melajukan motornya.

Gilang tersenyum smirk, ia melepaskan tautan helmnya lalu memandang Alex.

"Bukan urusan lo kali"

Gilang kembali memasang helmnya bersiap untuk pergi namun perkataan Alex membuat amarahnya meletup.

"Lo pikir gue gak tau, Zea nangis gara-gara lo. Lo udah nyakitin dia dan gak pantes buat Zea, tembok lo aja tinggi banget"

Melihat reaksi Gilang, Alex tersenyum puas. Ia menepuk pundak Gilang seolah-olah memberikannya semangat.

"Gue gak akan kalah dari lo" bisiknya lalu dengan segera ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Di posisi Gilang, ia hanya bisa diam dan tidak bisa mengelak. Benar apa yang dikatakan Alex, temboknya dengan Zea sangat tinggi.

Gilang mengacak rambutnya frustasi, ia harus bertemu dengan Zea, ia takut Alex akan berbuat jahat kepadanya. Tiba-tiba deringan ponsel membuat Gilang tersadar, sesaat melihat nama kontak tersebut ia menggese ikon hijau.

"Ke rumah gue sekarang. Gue gak tau apa yang lo perbuat sampai Zea benar-benar buat gue takut. Gue share lock. Lo gak dateng artinya lo gak boleh ketemu adik gue lagi"

Tut!

Sambungan dimatikan sepihak oleh Gilang, sepertinya Gio benar-benar marah kepadanya. Tak apa, ia harus datang dan menenangkan Zea.

🥀🥀🥀

"Zea, tenang ini gue"

Zea yang terus memberontak karena tangannya dicekal, seketika berhenti. Ia menatap seseorang yang baru saja bicara. Mata mereka bersitatap, dengan cepat Zea mengalihkan pandangannya.

"Tenang ya Zea. Gue minta maaf soal kemarin"

"Hentikan, gue gak mau denger kata maaf lagi dari LO!" ucap Zea sambil menunjuk-nunjuk muka Gilang.

"Oke, gue anggap lo udah maafin gue. Zea, gue ternyata terlalu jahat buat lo. Kesehatan mental lo kurang baik, kebetulan kakak gue termasuk dokter psikologi, jadi mau gak?"

"Gak mau". Tolak Zea mentah-mentah. Ia memasang wajah yang dingin tanpa ekspresi.

"Gue rela buat ngurus ini itu supaya lo tinggal di apartemen, nanti selama di apartemen. Kakak gue selalu pantau lo terus"


"Gue janji gue akan bersikap cuek di hadapan lo. Gue janji, kalau gue ingkar lo boleh pergi kemana pun tanpa gue cegah"

Perlahan isakan Zea terhenti, ia mengangguk sebagai jawaban bahwa ia menyetujuinya.

"Ingat ya, lo janji itu"

Gilang mengangguk kemudian tersenyum, jujur ia merasa sangat senang sekali. Tinggal minta izin sama abangnya aja.

_______
#Tbc

Ilzea (Tunda) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang