"Ian, di mana, Nak?"
"Masih di jalan, Ma. Kenapa?"
"Sama Carlina?"
"Iya."
"Mama lagi sama Tante Siska di rumah. Kamu nanyain rumah yang satu lagi di Bogor kan waktu itu? Kalau kamu mau bisa, tapi harus direnov dulu juga. Tanahnya gak terlalu gede paling 500 m2. Kamu sama Carlina ke rumah dulu aja. Biar nanti dibikinin desainnya sama Tante Siska."
"Oh, sebentar ya aku tanya Carlina dulu. Tante Siska masih lama gak?"
"Masih. Keluarga Om Indra juga mau ke sini."
"Kok rame?"
"Mama ajak sekalian koordinasi buat nikahanmu nanti. Kan harus dikasih seragam juga."
"Ma, undangannya gak banyak loh."
"Iya tau. Keluarga Mama sama Papa udah dihitung kok. Anak-anaknya gak ikut."
"Oke. Nanti aku hubungin lagi."
Aku menguping pembicaraan itu dan menebak-nebak apa yang dikatakan Tante Ayu. Mobil ini berjalan cukup pelan ketika Julian mengangkat telepon sehingga aku bisa melihat anak-anak dari perkampungan di balik jalan tol yang sedang menunggu bis.
"Mama minta kita ke rumah, ada om dan tanteku. Kamu mau? Kalau engga, aku aja yang ngomong sama keluargaku. Gapapa kok," ucap Julian setelah kembali pada kemudinya dengan penuh.
Tentu saja, aku tak langsung menjawab. Aku berpikir keras selagi Julian mencari rute paling macet agar aku dapat mempertimbangkannya lebih lama.
Bodohnya. Tangisan tadi terasa seperti tangisan anak kecil cengeng. Julian membiarkan aku menangis di pelukannya seakan-akan ia adalah pacarku.
Cincin di jari manis kiriku memang membuktikannya. Tapi, kami tak benar-benar mencintai satu sama lain. Ini yang kurasakan, tentunya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Julian saat ini.
"Aku bisa kok," ucapku sambil mengangguk, mencoba meyakinkan diriku sendiri.
"Aku tanyanya kamu mau apa engga, Car."
Aku kembali terdiam di tengah jalanan yang mulai memadat setelah Julian memilih untuk melewati jalan TB Simatupang di jam 4 sore yang gila ini.
Aku menatap Julian, meminta dukungan dalam diam dengan mataku yang masih sembab. Aku sedikit khawatir jika keluarganya mengira bahwa Julian yang menjadi penyebab mata sembab ini.
Julian ikut menatapku. Secara tidak sengaja, tangan kiri Julian mendarat cukup dekat dengan tangan kananku. Julian tak banyak berpikir. Ia menggenggam tanganku begitu kulit kami bersentuhan.
Oh, tidak. Air mataku langsung berkumpul di pelupuk mata. Aku menjadi terlalu sensitif. Semua perkataan Angela sangat melukai hatiku dan aku merasa tidak pantas untuk sakit hati. Semua ini salahku.
"Kan." Julian mengusap pipiku ketika air mataku kembali jatuh.
Ini pasti mimpi buruk baginya. Ia akan menikahi anak cengeng bodoh tanpa pendirian dan hanya menyusahkan orang lain.
"Aku anter pulang aja."
"Engga. Aku belum pernah ke rumahmu. Aku gak boleh diem-diem aja dan terima beres," ucapku yang langsung memindahkan tangan Julian dari pipiku.
"Ya sudah kalau kamu ngotot. Tapi kalau nanti kamu capek, bilang sama aku. Keluarga besarku agak ribut dan banyak pertanyaannya. Nanti biar aku yang jawab. Oke?"
"Aku baik-baik aja kok. Aku juga mau ngobrol sama keluargamu."
"Astaga, oke cantik."
***