Aku mencoba segala hal. Berendam di bathub selama berjam-jam, membaca buku, memasak, bahkan merajut.
Semua aktivitas pengalihan itu membuatku lelah dan aku berakhir meminum teh chamomile di teras belakang rumah, setelah memakai kursi pijat yang ada di ruang tengah.
Aku tak secara signifikan lebih baik. Aku hanya merasa tidak terlalu lelah. Setidaknya, aku dapat melamun dengan tenang dan tak merasa emosional.
Baru jam 5 sore, aku mendengar derum mobil Porsche kami masuk ke basement. Aku sedikit bingung kenapa Julian pergi ke kantor menggunakan mobil itu. Kurasa ia pergi ke tempat lain, atau ia hanya ingin mengebut di jalanan.
Aku gelisah. Aku takut menemuinya. Aku menarik napas dalam-dalam dan tetap di teras belakang, menatap ikan koi gendut yang terlihat lebih bahagia daripada aku.
"Mbak, ada Ibu?" kudengar samar suara Julian yang baru masuk ke rumah.
"Ada, Pak. Di belakang," ucap Mbak Ade yang langsung merapikan tas kerja Julian.
Kukira, Julian akan menghindariku dan masuk ke kamar. Tapi ternyata ia malah langsung ke teras belakang, masih dengan kemeja berwarna biru mudanya yang sangat sering ia gunakan. Sambil bertukar tatap, ia melepaskan jam tangan Seiko miliknya lalu ia letakkan ke kantong celana.
"Hai," sapanya, sedikit canggung, lalu duduk di sampingku di sofa.
"Mau teh?" tanyaku, seakan tak ada yang terjadi di antara kami. Namun, Julian tak banyak berlaga. Ia terlihat sangat jujur dan terbuka dengan sikapnya.
"Kamu gak nginep di Lebak Bulus lagi?" tanyanya, tanpa ketegangan sama sekali.
"Engga. Ada apa?"
"Kamu mau aku tidur di tempat lain atau...?"
"Kenapa harus tidur di tempat lain?"
Julian mengambil beberapa waktu untuk memikirkan apa yang ia katakan padaku baik-baik. Kulihat, hari ini ia memakai kalung salib. Aku akan sangat terkejut jika hari ini ia pergi ke gereja atau melakukan wisata rohani apapun. Julian tak pernah sereligius itu. Masa mudanya dihabiskan dengan menyukai band-band emo merujuk pada pemujaan setan.
Tidak, Julian tidak seekstrim itu. Masa muda itu telah terlewatkan dan ia menjadi jemaat yang cukup taat untuk pergi ke gereja setiap minggunya.
Angin sore meniup rambut hitam nan tebal lelaki itu. Sedikit mengingatkanku pada saat kita di Bali. Angin yang meniupnya di Uluwatu juga memberikan kesan yang sama seperti saat ini.
Julian menuangkan teh untuk dirinya sendiri, meneguknya sedikit sebelum ia berbicara padaku.
"Tadi, aku abis jemput Papa. Tiba-tiba dia pulang pas aku kebetulan ke Jakarta. Dan akhirnya aku, Papa, dan papa kamu kumpul di Pondok Indah," ucapnya.
"Kok ada papa aku?"
"Aku yang minta papamu dateng. Terus aku ngaku di depan mereka tentang kondisi kita."
Aku hampir tersedak teh chamomile ini. Ia baru saja bilang apa? Mengaku tentang kondisi kami ke ayahku? Kuharap ia tidak dicambuk saat itu juga.
"Mereka banyak kasih aku ceramah sebagai pria beristri. Cukup lucu, tiba-tiba papamu suruh aku pengakuan dosa ke gereja. Aku lakuin. Padahal sebelumnya, aku berencana minum di tengah hari bolong," lanjutnya.
Aku masih mendengarkan dengan baik. Aku belum dapat menentukan apakah aku akan menangis dan meninggalkan rumah ini lagi atau tidak.
"Aku sadar kalau aku udah banyak tersesat. Sejak kita nikah, hal yang kupikirin cuma gimana caranya kamu gak tau masa laluku. Aku masih hidup dalam rasa bersalah dan malu karena pernah punya masa lalu gelap dengan Chloe."