"Mei..."
"Mau cerita, Mbak?"
"Um, cerita apa? I'm okay, kok."
"Mbak you don't need to lie to me. I know by looking from your eyes. And i swear i won't tell anyone."
Aku berjalan sedikit karena tak mau diinterogasi lebih lanjut. Mei mengikutiku dari belakang, dan ia menarik tanganku agar kami duduk di salah satu meja di Ruang Besar. Kami berkunci tatap dan aku sangat takut rahasiaku dengan Julian terbongkar.
"Mbak, i know kamu anak tunggal dan gak biasa cerita sama siapapun. Tapi kamu mau pendem sampai kapan? Sikapmu keliatan banget murungnya."
Berbagai pertimbangan berkecamuk di kepalaku. Aku tak mau menjadi istri yang seenaknya mengumbar masalah rumah tangganya. Aku tak mau Julian dianggap sebagai suami yang tak becus mengurus istrinya. Akulah istri dari Si Sempurna Julian Bimantara. Pernikahan kami adalah pernikahan paling penting di tahun ini.
"Mei, terima kasih untuk niat baikmu. Tapi aku gak punya masalah apapun yang bisa kubagikan. Mas Ian perlakuin aku dengan baik dan kami gak ada masalah apapun di rumah," ucapku dan berdiri dari meja itu.
"Aku gak pernah tanya kalau kamu ada masalah sama Mas Ian, lho, Mbak. I only ask if you are okay in general."
Sial. Aku terperangkap oleh umpannya.
"Hidupku berputar dengan rumah dan Mas Ian setiap harinya, Mei." Aku mencoba mencari alasan walau tak ada gunanya berbohong di hadapan cenayang satu ini.
***
Sepulangnya dari Plataran, kami mampir ke Lebak Bulus untuk menemui orang tuaku.
Ternyata ayahku ada perjalanan bisnis ke Malaysia. Syukurlah, Julian tak akan diteror dengan berbagai pertanyaan dari ayahku.
Mbak Lita menyambutku dengan bahagia dari gerbang dan aku memeluknya. Perasaan aman dan tenang menyeruak begitu aku melihat sahabat dan temanku satu-satunya di rumah ini menyambutku.
"Mbak Car, kangen sekali aku," ucapnya lalu kembali santun seperti biasa.
"Aku juga. Kamu gak mau ikut aku ke Bogor?"
"Mana bisa, Mbak. Ngamuk bapakmu kalau aku pindah."
Bertemu Mbak Lita mengingatkanku kalau tak semua ART memiliki niat jahat. Hidupku di Bogor dihantui bayang-bayang Mbak Ratna sehingga aku tak begitu akrab dengan Mbak Susi ataupun Mbak Ade.
Aku bertemu Mama dan langsung memeluknya dengan erat juga. Wangi rumah ini, dinginnya lantai rumah, dan interior neo classical-nya membuatku ingin menetap di sini selamanya.
"Nak Julian. Sudah lama Mama gak lihat kamu," ucap Mama dan memeluk Julian juga.
"Iya, Ma. Maaf aku jarang mampir," ucap Julian dan menepuk punggung Mama.
Karena kami hanya mampir, aku menyempatkan diri untuk pergi ke kamar lamaku dan mengambil beberapa baju favoritku yang sudah jelek. Kamar lamaku menjadi sangat kosong tanpa tumpukan buku dan berpuluh gelas berisi lilin di seluruh kamar layaknya aku seorang penyihir.
Julian mengikutiku ke kamar, mengingatkanku pada masa-masa sebelum pernikahan kami.
Masa-masa itu adalah masa yang sangat indah, menurutku. Rasanya semuanya lebih mudah. Masalah dengan Chloe pun sangat mudah untuk diselesaikan. Sekarang, kami hanya melawan satu sama lain dalam diam. Pernikahan kami dingin dan kering.
Tak ada romansa yang begitu membludak seperti sebelum Julian bilang ia tak ingin memiliki anak secepat itu. Aku masih bertanya-tanya dengan alasan di balik itu. Ia tak pernah mau membahasnya lagi. Kami bertingkah seperti percakapan itu tak pernah terjadi.