28. Pukul Dua Pagi

674 48 4
                                    

Kami sampai di rumah pukul 2 pagi.

Aku sudah siap tidur setelah mengganti bajuku di walk-in-closet. Tapi ternyata, Julian tak ada di atas ranjang kami.

Aku mencarinya ke luar kamar dan kutemukan ia sedang duduk melamun di teras belakang. Awalnya, aku hanya mengamati punggung yang terlihat kuat itu. Aku dilema apakah aku harus mengajaknya tidur atau membiarkan ia memiliki waktu sendiri.

Sampai akhirnya kulihat ia menyalakan korek.

Kakiku berjalan cepat dan berhasil menghentikan api kecil itu membakar gulungan tembakau yang ada di bibir Julian. Ia seperti tak terkejut, namun jelas ia tak mengharapkan aku akan menghampirinya seperti ini.

"Boleh kuminta?" tanyaku sambil menyodorkan tanganku di depannya.

Ia menarik napas dan menurutiku. Ia memberikanku rokok, korek, beserta sisa rokok Marlboro yang kuingat-ingat ini adalah rokok yang diberikan Felix.

Aku langsung meremas bungkus rokok itu di hadapannya dan meletakkannya ke meja. Ia tak marah sama sekali. Aku tak dapat membaca ekspresi apapun dari wajahnya.

"Tidur yuk, Mas," ucapku, masih berusaha mengalihkan perhatian dari sikap dinginnya.

"Duluan aja. Mas belum ngantuk," kata seorang lelaki yang kantung matanya menghitam.

Ia tak beranjak dari sofa itu dan malah menunduk. Aku masih berdiri tepat di depannya. Jemariku mencoba mengangkat wajah putih pucat itu agar aku dapat melihatnya dengan jelas.

Mata sayunya itu berkaca-kaca. Aku seperti dapat membaca seluruh isi pikirannya dalam satu kali tatap.

"Ada apa, Mas?" tanyaku selembut mungkin.

Julian meraih tanganku lalu mengarahkanku untuk duduk di samping kanannya. Aku menurut. Setelah itu, ia mendaratkan kepalanya di bahu kiriku. Punggungku mencoba bersandar dengan nyaman ke sofa berwarna krem ini sambil menopang kepala Julian. Aku mengelus rambutnya sepelan mungkin.

"Maaf. Kepalaku masih berisik," ucapnya pelan.

"Kalau gitu denger suaraku aja," jawabku.

Ia mengangguk. Sambil masih mengelus rambutnya, aku menyanyikan sebuah lagu yang terlintas di otakku. Aku tak pandai bernyanyi dan tak begitu tahu lagu-lagu terbaru. Apalagi ragu rock atau metal kesukaannya itu.

There's a place where lovers go
To cry their troubles away
And they call it Lonesome Town
Where the broken hearts stay (Lonesome Town)

You can buy a dream or two
To last you all through the years
And the only price you pay
Is a heart full of tears (full of tears)

Julian menutup matanya sembari mendengarkanku bernyanyi. Aku harap ia dapat tertidur dengan nyenyak karena hari sudah menunjukkan pukul 3 pagi.

Aku berhenti bernyanyi saat kukira ia sudah tidur. Ia mengangkat kepalanya saat aku berhenti. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan sendu yang lama kelamaan akan aku benci. Aku tak suka melihatnya sedih seperti ini.

"Car... aku cuma mau kamu tau kalau aku begini bukan karena aku masih sayang Chloe."

"Mas, aku tahu kamu sayang aku, kok. Kamu gak perlu khawatir."

"Kalau kamu gimana? Apa kamu udah mulai sayang aku, Car?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangat konyol. Aku merasa ia sama sekali tak peka dan terlalu termakan oleh pikirannya. Sampai akhirnya ia berkata sesuatu yang membuatku sadar.

"Aku tau kamu ragu-ragu karena masa laluku, makanya kamu gak pernah bilang kamu sayang aku. Tapi kamu harus tau, itu sama sekali bukan salahmu. Memang aku yang banyak kekurangannya."

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now