Ketegasan Julian dalam berbicara membuatku terpaku di tempatku.
Aku berjalan menuju sofa bludru berwarna biru dongker di ruang tamu suite itu. Aku duduk selembut mungkin hingga tak mengeluarkan suara dari gerakanku.
Julian kembali ke depan laptopnya sejenak untuk menutup laptopnya dengan pekerjaan yang belum ia selesaikan. Bahkan, ia menonaktifkan ponselnya untuk mengurangi distraksi sebelum berbicara padaku. Ia sempat mengecek jam tangannya yang tergeletak di sebelah laptopnya, memikirkan betapa larutnya aku datang ke sini.
Jantungku berpacu cepat karena aku tak yakin apa yang akan kami bicarakan.
Aku kerap menunduk ketika aku mendengar langkah kakinya di sekitar ruangan. Aku hanya bisa melihat kakinya yang mendekat, sampai akhirnya ia duduk satu jengkal di sebelah kananku.
"Kenapa kamu ke sini tengah malam?" tanyanya, membuka percakapan dengan sedikit santai, namun masih membuatku tercekat karena tak bisa menjawab.
"Aku... pengen ketemu," jawabku yang sudah kehabisan ide.
"Untuk apa?"
"Minta maaf, Mas."
Julian langsung mengembuskan napas panjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Sesekali ia melipat lengan kemejanya yang sedikit berantakan.
"Karena?"
"Nemuin Chloe tanpa ngomong dulu sama Mas."
Tawa kecil keluar dari mulutnya sembari ia menggeleng-gelengkan kepala. Aku benci tawa itu. Tawa sarkastik yang tak dapat diterjemahkan sebagai perasaan bahagia.
"Apa sih, Car? Kamu ngapain minta maaf?"
"Aku tahu Mas marah sampai ngehindarin aku dengan nginep di hotel. Aku sadar aku salah."
"Aku gak ngerti cara pikirmu. Yang salah itu aku. Aku yang pengecut. Aku yang bilang mau ngomong serius sama kamu. Tapi malah kamu yang susah payah dateng ke sini, minta maaf pula."
Aku tak berani menjawab apapun. Julian terlihat bergejolak dengan serangkaian emosi dalam dirinya. Aku tak yakin apakah permintaan maafku menjadi hinaan untuknya. Aku tak pernah bermaksud untuk membuatnya merasa seperti pengecut.
"Apa kamu gak marah tentang anakku dan Chloe?" lanjutnya.
"Kamu udah bilang kalau hal itu gak benar. Aku percaya kamu."
"Terus hal lain? Kamu gak marah dengan sikapku selama ini?"
"Aku gak mau besar-besarin masalah. Aku cuma mau kita berdamai aja."
"Car... tolong marah. Aku hampir gila ngeliat kamu terus-terusan aku sakitin dan kamu diem-diem aja."
Aku mengembuskan napas panjang, seperti baru saja menahan napas dalam perairan yang dalam. Sudah cukup lelah jiwaku untuk merasa marah pada Julian. Meskipun memang, banyak sekali yang aku pikirkan tentang hubungan kami.
"Mas, aku gak diem aja selama ini. Aku selalu coba untuk omongin semuanya kayak yang Mas pernah minta sebelum kita nikah. Aku coba untuk gak sekedar marah doang. Tapi sekarang apa? Malah kamu yang berhenti komunikasi," ujarku yang mulai berapi-api.
Julian bersandar pada sofa bludru itu dan menatap langit-langit. Beberapa kali ia mengernyit seperti menahan rasa nyeri di dadanya.
"Kamu terlalu effort untuk hubungan kita yang cuma dijodohin ini, Car."
Celetukannya menarik pelatuk amarahku dengan keras.
"Maksud Mas apa?"
"Kamu gak perlu repot-repot begini. Semua usaha kamu, bahkan sampai ngerendahin harga dirimu buat ketemu Chloe, minta maaf ke aku, gak perlu. Kita cuma dijodohin."
![](https://img.wattpad.com/cover/365024184-288-k45650.jpg)