36. Hotel Mirah, Bogor

376 31 6
                                    

"Bu, ini Pak Julian telepon saya. Boleh diangkat?"

"Engga. Kamu tunggu di mobil aja. Saya yang samperin kalau saya sudah selesai."

"Baik, Bu."

Aku tak mau membahayakan diriku dalam situasi ini. Aku tak mau kejadian di stasiun terulang lagi. Namun, aku membutuhkan ini.

Aku melamun di pedestrian sekitar Halte Kebun Raya. Sembari menatap Tugu Kujang yang menjadi ikon Kota Bogor. Aku duduk di sebuah kursi panjang dan melihat kendaraan yang mengantri lampu merah.

Lamunanku kosong. Aku tak mau memikirkan apapun dan mencoba mengosongkan pikiran. Aku menghitung jumlah angkot yang lewat di depanku. Aku kerap kehilangan hitungan ketika mencapai angka 30. Aku kembali ke satu, dua, tiga, lalu berhenti setiap aku melihat mobil BMW yang mirip dengan mobil Julian.

Aku memblokir seluruh kontak Julian. Aku ingin tetap menyalakan ponselku untuk mendengarkan lagu yang menambahkan bumbu pada kehampaanku ini.

Aku merasa ditertawakan oleh berbagai lagu romantis. Aku selalu bersiap untuk menikahi lelaki sesuai dengan keinginanku, yang telah kukurasi dari berbagai penggambaran lelaki di karya sastra dan seni.

Aku berhenti menghitung angkot ketika muncul notifikasi dari ponselku.

Yohan
Hey... how are you doing?
I dont know if im hallucinating or not
But i saw someone like you near Botani Square
I just drive past it

Carlina
Hey
Its probably me
Im sitting there right now

Yohan
Aku bener?
Kamu ngapain di situ?
Kamu sendirian?

Carlina
Just doing nothing

Yohan
Nothing?
Ini udah jam 9 malem
Sebentar tunggu situ
Aku parkir dulu di botani

Carlina
Ada supirku kok nungguin

Yohan
Tunggu di situ
Gila kamu

Yohan tak berbohong. Ia menghampiriku dengan tergesa-gesa dalam 10 menit setelah aku mengonfirmasi bahwa perempuan kesepian itu memang aku.

"Kamu ngapain sendirian di sini?!" Ia terlihat sedikit marah dan khawatir.

"Aku gak sendiri. Supirku ada di parkiran Botani."

"Tapi kamu duduk di sini sendirian. Supirmu mana liat. Astaga. Ini dingin loh. Ayo pindah dari sini."

"Sshhh. Kamu ribut banget. Duduk sini. Bantu aku hitung jumlah angkot yang lewat."

"Carlina, astaga."

Walau mengeluh, Yohan tetap duduk di sampingku. Ia melepas jaket parasut hitam yang ia kenakan, lalu ia pasangkan di punggungku. Aku terdiam karena jaket ini benar-benar hangat. Aku tak sadar seberapa dingin udara saat ini.

"Suamimu tau kamu di sini sendiri?"

"Enggak, lah."

"What the heck are you doing right now? Are you okay?"

"Don't ask anything, please. I just want to sit in peace."

"Gosh. Not here, Car."

Yohan mematuhiku dan mencoba rileks walau kepalanya penuh pertanyaan. Ia bersandar pada bangku reyot itu. Pemandangan yang membosankan baginya. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya membawaku pergi dari sini.

Tak butuh waktu lama. Aku lama kelamaan menggigil sendiri. Udaranya tak terlalu dingin, tapi angin yang bertiup membuat badanku tak nyaman.

"Okay. Aku mau pergi sekarang," ucapku.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now