13. Kediaman Armananjuna, Lebak Bulus

407 40 1
                                    

"Halo, Tante. Maaf Carlina pulang kemaleman. Tadi abis dari rumahku."

Julian menyapa Mama yang sudah memakai sheet mask di jam 9 malam itu. Aku memang memberi tahu Julian kalau aku tidak boleh pulang lebih dari jam 9 malam. Aku sendiri bertanya-tanya apakah aturan itu berlaku ketika aku bersamanya.

"Eh, Nak Julian. Gapapa kok. Tadi Tante Ayu udah ngabarin Tante juga. Masuk dulu," ucap Mama dan mempersilakan Julian masuk.

Sebetulnya masih banyak yang perlu dibicarakan dengan Julian malam ini. Kami harus banyak berdiskusi mengenai vendor MUA, dekorasi, dan hiburan. Amanjiwo telah menawarkan dekorasi sepaket dengan venue. Kami harus menimbang karena akan ada beberapa permintaan spesial mengenai dekorasi.

Belum lagi berdiskusi mengenai transportasi keluarga serta tamu penting. Undangan pernikahan harus dibagikan minggu depan dan kami belum punya daftar undangan final.

Kami berdua duduk di atas karpet ruang tamu selagi Julian membuka laptopnya. Mama sibuk menyiapkan camilan. Padahal, aku membawakan bakpao telur asin yang dibuat oleh Mbak Octa dan Tante Ayu.

"Gimana fitting tadi?" tanya Mama sembari menyiapkan dimsum shu mai buatan tangannya sendiri itu.

"Gak jadi di Tex Saverio, Ma. Gak cocok aku sama gayanya. Kita mau minta sepupunya Julian untuk bikin gaunku. Dia lulusan Esmod," ucapku sambil menyuguhkan dua potong dimsum untuk Julian.

"Oh, iya. Mama tau orangnya. Dulu Tante Ayu pernah ceritain ke Mama. Ya sudah, kalian ngobrol aja dulu. Kalau ada apa-apa panggil Mama, ya. Papa udah tidur duluan," ucap Mama yang bersiap untuk rutinitas skincare malamnya.

Aku dan Julian banyak berdiskusi mengenai hiburan pernikahan malam ini. Masalah MUA terselesaikan dengan cepat karena kami sudah mencocokan jadwal. Hanya saja, ada satu MUA yang sangat aku inginkan, tapi jadwalnya belum pas. Aku mengikhlaskannya.

"Aku lebih suka Indra Herlambang dibanding Rafi Ahmad kalau untuk jadi MC," ucapku sambil mengambil potongan dimsum.

"Hm, gak masalah, sih. Tapi Rafi Ahmad temen deket aku, jadi aku agak gak enak," ucap Julian dan ikut mengunyah dimsum bersamaku.

Kami sama-sama bersandar di sofa dan meluruskan kaki ke kolong meja. Untungnya kali ini Julian memasang lagu-lagu dari Laufey, bukan BMTH seperti biasanya. Aku tak mengerti selera musiknya. Apakah dia pikir aku suka Laufey?

Tak salah. Aku lebih lega ia mengira aku suka Laufey dibanding Taylor Swift. Jangan tersinggung, aku hanya tak bisa relate dengan lagu Taylor Swift.

"Mmmmm. Ya sudah, boleh Rafi Ahmad. Tapi dia bisa kan buat suasananya biar sakral?"

"Harus bisa. Dia harus profesional. Tapi aku akan coba tanya Indra Herlambang juga. Aku harus pertimbangin riders mereka juga."

"Mereka dapet kamar di Amanjiwo, harus ada riders lagi?"

"Carlina, bahkan Mas Budi akan dapet kamar di Amanjiwo. Pasti ada hal lain yang harus kita kasih ke mereka."

Aku mengangguk paham. Benar juga, mereka ini profesional di bidangnya. Aku yakin bayaran mereka akan sangat mahal jika Julian tak mengenal mereka secara pribadi.

Aku menyandarkan kepalaku di sofa. Sudah hampir jam 11 malam. Pelupuk mataku mulai berat dan punggungku sakit. Belum lagi angka-angka di tabel anggaran pernikahan kami. Jumlah yang fantastis ini sudah sebisa mungkin aku hemat.

Menikah di resor adalah alasan utamanya. Kami tak mungkin menyajikan sesuatu yang murahan kepada tamu-tamu sementara acaranya diadakan di tempat megah. Kami harus mengimbangi hal lainnya dengan resor itu.

"Oke. Selanjutnya undangan, kan?" ucapku setelah meneguk segelas air dingin.

"Matamu udah merah. Baiknya istirahat dulu. Kita masih bisa lanjutin besok, kok," ucap Julian yang tak mengantuk sama sekali.

Rumah Putih GadingWhere stories live. Discover now